Masih sama dengan artikel-artikel sebelumnya yakni mengenai review sebuah buku, kali ini kita akan memasuki bab Jejak Budaya Aceh yang merupakan sub-bagian dari fondasi peradaban Aceh.
Untuk memulai bab ini, penulis langsung mengatakan bahwasanya kepanjangang kata ACEH kerap didefinisikan sebagai Arab-Cina-Eropa-Hindia, jika begitu adanya maka budaya yang terdapat pada masyaraat Aceh telah mengalami 4 pencampuran kebudayaan besar di dunia selama lebih dari ratusan tahun lamanya.
Mengenai kepanjangan kata ACEH, ternyata salah satu steemian disini dengan akun @ahmadmufazzal juga telah membahasnya lebih dalam tentang makna Aceh, hal tersebut bisa kita baca pada artikel beliau di bawah ini
Makna ACEH/The meaning of ACEH (Indonesian and English translation)
Hal tersebut justru membuat jati diri budaya Aceh justru tidak dapat dijadikan sebagai piring peradaban bagi orang Aceh. Belum lagi dengan adanya penyatuan 4 kebudayaan besar tersebut otomatis terinput pula 4 agama besar yang ada, yakni Arab dengan Islam, Cina dengan Kong Huchu/Tao, Eropa dengan Agama Kristen, dan Hindia dengan Hindu-nya. Ke-empat agama tersebut dikatakan pernah bertapak di Aceh, walaupun pada akhirnya Islam-lah yang lebih berkiprah dan diyakini oleh masyarakat aceh sebagai agama yang benar.
Dibalik itu semua, 3 agama lainnya juga pernah mempengaruhi budaya orang Aceh dan dapat kita jumpai pengaruh kecilnya hingga hari ini. Ketiga pengaruh agama besar tersebut terhadap budaya Aceh dapat dipandang sebagai pelengkap kebudayaan, hal ini karena setiap perilaku masyarakat yang berbau ke-Cinaan dan ke-Hindiaan dianggap sebagai budaya atau adat istiadat, kecuali agama kristen yang telah dianggap sebagai "kafir" bagi orang Aceh.
Dapat kita lihat bersama, bahwa kebanyakan budaya Aceh telah mengalami proses Arabisasi. Untuk itu penulis dalam bab ini akan mencoba mengetengahkan konstruksi pemahaman mengenai agama dan budaya. Tidak lupa pula apa saja yang mempengaruhi budaya Aceh dan apa saja pengaruh budaya tersebut terhadap tatanan budaya Aceh yang telah hilang pun akan ikut dilacak pada bab ini.
Agaknya sedikit sulit dalam memilah dan memilih mana yang menjadi pengalaman kebudayaan dan mana yang merupakan pengalaman keagamaan. Hal ini disebabkan budaya yang kita temui sehari-hari telah bercampur dengan agama yang kita anut. Dengan demikian panulis mengutip pandangan Morgan untuk bisa membedakan kedua hal tersebut yang singkatnya adalah; budaya merupakan makna yang muncul dari bentuk dan isi, sedangkan agama adalah makna yang bersatu dalam bentuk dan isi budaya.
Jika kita sanggup memberikan makna dari setiap perilaku masyarakat, maka disitulah kita bisa memahami bagaimana budaya suatu masyarakat tersebut. Untuk itu, ketika ingin menulis budaya yang ada pada suatu masyarakat, maka mau tidak mau kita harus bisa memahami bagaimana masyarakat tersebut memandang budaya mereka sendiri, bukan hanya dengan mengandalkan pandangan pribadi.
Sekarang kita akan melihat beberapa Jejak Budaya Aceh pada masa endatu dulu. Kita bisa memulainya dengan melihat sejarah kerajaan Aceh, yang mana raja lebih dikenal dengan sultan, dibawahnya ada ule balang yang membawahi mukim dan dibawah mukim dikenal dengan islital sago yang terdiri dari beberapa federasi kampung.
Adapun mengenai aturan kehidupan didalam bermasyarakat, rakyat Aceh banyak diwarnai oleh Islam karena pada masanya Aceh telah mengalami proses Islamisasi. Namun tidak sediki pengaruh Hindu-Budha masih dapat dijumpai di dataran Aceh hingga saat ini.
Dalam persoalan tata laksana, aceh lebih di dasarkan pada simbol po teumeureuhom yang bermakna dari raja atau yang memiliki kekuasaan. Adapun UU yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan agama keyakinan mereka.
Selanjutnya dalam persoalan cara berpikir dan cara kemajuan masyarakat Aceh disimbolkan dengan reusam bak bentara. Reusam ini lebih pada mengatur gaya hidup masyarakat Aceh. Banyak sekali Jejak Budaya Aceh yang bisa kita lihat dalam persoalan ini [selengkapanya baca hal. 796-801], salah satunya yaitu budaya keunduri blang dan juga kenduri laot. kemudian juga bisa kita lihat bahwa orang Aceh juga meyakini hal-hal yang berbau makhluk ghaib yang sering diistilahkan dengan burong (hantu), teu meugu (di masuki roh jahat saat berada di tempat tertentu), teu mamong (kesurupan), peukeunong (santet), meusihe (belajar sihir), meutapa (bertapa/bersemedi), dll. Namun demikian semua aktiitas yang disebutkan diatas (kecuali yang berbau sihir) selalu dibalut dengan ritual keislaman yang bukan lain adalah doa bersama (meu do'a).
Itulah beberapa Jejak Kebudayaan Aceh yang bisa kita temui pada zaman endatu dulu dan juga tidak sedikit masih terdapat pada masa sekarang.
Sungguh sayang jika tulisan yang berkelas seperti ini tidak mendapatkan nilai yang maksimal. Bagi penulis tetap semangat ya, setidak bermanfaat bagi kami yang mau membaca. Terima kasih sudah berbagi ilmu kepada kami.
Terima kasih banyak pak