Kita pasti kurang mengerti kenapa UEFA mau menerima keanggotaan Kazakhstan di kancah sepak bola Eropa pada April 2002. Kalau menilik alasan dari sudut sejarah, budaya, politik, dan wilayah bisa kita terima. Karena itu yang berlaku dengan Turki. Sedangkan Israel selain alasan budaya dan politik juga untuk alasan keamanan, seiring bangkitnya gerakan anti-semit di seluruh wilayah Arab. Kawasan yang berbatasan langsung dengan Israel.
Hebatnya, kedua asosiasi sepakbola ini punya timnas yang cukup handal untuk bersaing dengan negara-negara Eropa. Israel adalah juara Piala Asia tahun 1964 dan pernah lolos ke Piala Dunia 1970 di Meksiko. Turki, meski baru dua kali tampil di Piala Dunia, tapi mereka tampil sensasional ketika meraih peringkat ketiga Piala Dunia 2002 di Korea Selatan. Turki juga semifinalis Piala Eropa edisi 2008 serta menduduki peringkat ketiga Piala Konfederasi 2003. Kekuatan sepakbola kedua negara ini mampu mewarnai sepakbola Eropa, dan ini menguntungkan UEFA demi meningkatkan daya saing di regional mereka. Sehingga keanggotaan mereka tidak memunculkan pertanyaan seperti kenapa UEFA menerima keanggotaan Kazakhstan.
Tapi timnas Kazakhstan tidak memiliki modal itu. Sampai sekarang setelah hampir 20 tahun bergabung dengan UEFA, sepakbola negara pecahan bekas Uni Sovyet ini belum bisa berbicara banyak di persepakbolaan Eropa. Buktinya, di kompetisi baru milik UEFA yaitu UEFA Nations League, dimana kontestannya di pilah menurut kasta masing-masing. Kazakhstan yang bergabung di Liga D (level terendah) tidak lolos dari fase grup, kalah bersaing dengan sesama mantan Uni Sovyet, Georgia. Fakta inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan, kenapa UEFA menerima keanggotaan Kazakhstan. Apa alasan yang dipakai UEFA sehingga Kazakhstan layak menjadi anggotanya yang ke-52. Keanggotaan UEFA sekarang berjumlah 55 asosiasi setelah menyusul masuknya Montenegro (2007), Gribaltar (2013), dan Kosovo (2016).
Dengan segala tanya atas prestasi sepakbolanya yang secara realistis hanya bisa bersaing di level AFC. Maka tidak salah kalau ada pihak yang menduga-duga (bukan menuduh), kalau proses perpindahan konfederasi yang berlaku pada negeri kaya minyak ini, ada permainan uangnya. Entahlah! Sedikit catatan, Pada tahun 2005, Bank Dunia memasukkan Kazakhstan dalam daftar salah satu negara hotspot korupsi. Ini berarti setara dengan Angola, Bolivia, Kenya, Libya dan Pakistan. Pada 2012, hasil survei Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Kazakhstan mendapat peringkat rendah dalam indeks negara-negara yang paling tidak korup. Demikian juga dengan World Economic Forum yang mencantumkan korupsi sebagai masalah terbesar dalam melakukan bisnis di negara itu. Jadi ada benang merahnya bila ada yang mensinyalir keluarnya KFF dari AFC dijejali dengan uang kotor.
Sedangkan kalau ditanyakan alasan dari pihak Kazakhstan, maka alasan utamanya adalah mengangkat prestasi dan derajat sepakbola negeri itu. Federasi sepakbola di sana ingin mengembangkan sepakbola yang lebih mirip dengan Jerman dan Inggris daripada Jepang dan Korea Selatan. Maka tak lama setelah menjadi members dari otoritas tertinggi sepakbola Eropa itu, KFF (Football Federation of Kazakhstan) langsung menjalin kerjasama dengan DFB, federasi sepakbola Jerman. DFB akan membantu membangun fondasi sepakbola Kazakhstan ala Eropa, khususnya Jerman. Para pelatih dan konsultan sepakbola didatangkan khusus untuk membenahi semua aspek yang dinilai selama ini menghambat pembangunan sepakbola di negara tersebut.
Kata seorang pejabat federasi: "Kami ingin berkembang dengan cara yang sama seperti negara-negara Eropa."
Ketika Kazakhstan melobi untuk menjadi anggota UEFA hampir dua dekade yang lalu, negara itu membantah fakta bahwa 12 persen wilayahnya terletak di Eropa menjadi alasan untuk menolak mereka. Karena dengan memakai argumen yang sama, Turki hanya memiliki tiga persen wilayah Eropanya.
Kompetisi di Eropa juga bergulir rapi dengan tingkat kedisiplinan yang sangat tinggi. Atmosfir profesionalitas itulah yang diharapkan oleh federasi sepakbola Kazakhstan akan menular kepada pemain dan klub-klub di negara yang 70% penduduknya Muslim tersebut. Dan itu hanya didapat dengan terus berkompetisi di strata yang lebih tinggi, sehingga pilihannya Eropa bukan Asia. Dengan begitu klub-klub Liga Premier Kazakh juga akan punya kesempatan untuk menjajal klub-klub besar dan kaya di tanah Eropa. Semua itu dapat terwujud di kompetisi UEFA Champions League dan UEFA Europa League di setiap musimnya.
Keikutsertaan di kompetisi antar klub Eropa juga akan memancing datangnya pemain asing untuk merumput bersama klub-klub Kazakhstan. Selanjutnya, gaji pemain yang berseragam klub-klub papan atas di Liga Premier Kazakh pasti juga akan meningkat tajam. Rata-rata pemain di sana mendapat gaji berkisar sekitar US $ 15.000 (Dh55.100) per bulan. Meskipun untuk pemain-pemain top bisa mendapatkan bayaran yang lebih tinggi. Bahkan untuk pemain tertentu bisa dua kali lipat jumlahnya. Tapi semua itu alasan dari pengaju proposal dan tidak bisa menjawab pertanyaan kenapa UEFA menerima keanggotaan Kazakhstan?
Namun sampai sekarang belum tampak pertumbuhan sepakbola yang signifikan di Kazakhstan, baik di level klub apalagi tim nasional. Mereka masih masuk tim kurcaci di ranah sepakbola Eropa. Padahal kalau Kazakhstan bertahan di AFC, kemungkinan mereka sekarang sudah mampu mewakili konfederasi Asia tersebut ke kejuaraan-kejuaraan dunia. Kalau pun tidak di level senior setidaknya menjadi wakil di kejuaraan kelompok umur. Seperti yang dicapai negara Asia Tengah dan bekas Uni Sovyet lainnya, Uzbekistan. Kondisi kini sebenarnya banyak disesali oleh sebagian besar pencinta sepakbola di negara berpenduduk lebih kurang 17 juta jiwa tersebut. Mereka sekarang malu karena The Hawks, julukan untuk tim nasional mereka sering menjadi bulan-bulanan bila berhadapan dengan negara-negara kasta kedua persepakbolaan Benua Biru. Banyak yang belum mendapat jawaban, kenapa UEFA menerima keanggotaan Kazakhstan.
Yang pasti, bila Kazakhstan tidak berniat untuk kembali ke AFC maka harapan mereka untuk lolos ke Piala Dunia tetap akan menjadi mimpi. Padahal kalau bertahan di AFC, mungkin sepuluh tahun ke depan Kazakhstan sudah merasakan Piala Dunia. Kalau tidak, maka harapan tersebut baru terwujud bila KFF mencalonkan diri sebagai tuan rumah penyelengara turnamen terbesar milik FIFA tersebut, dan terpilih. Ini yang selalu diwacanakan oleh PSSI kita.
Artikel ini sudah dipublish di Garis Gawang dan dishare ke steemit dengan SteemPress : https://garisgawang.com/gg-serba-serbi/kenapa-uefa-menerima-keanggotaan-kazakhstan/