Berbicara tentang kebudayaan Aceh, tentu tidak lepas dari norma-norma agama Islam yang sangat kental melekat di wilayah yang berjulukan Serambi Mekkah ini. Aspek budaya dan agama sangat erat kaitannya menjadikan dua hal tersebut tidak bisa dipisahkan begitu saja.
Istilah budaya juga bisa disebut dengan adat-istiadat. Adat Aceh selalu memberikan keunikan tersendiri bagi bangsa luar yang berkunjung ke Aceh. Mereka harus mengerti terhadap kebiasan-kebiasaan yang tidak lazim dilakukan di tempat lain yang berhubungan dengan keagamaan, seperti adat peusijuk ( Tepung Tawar ), kenduri blang ( syukuran sebelum menaman padi), kenduri laot ( syukuran yang diadakan di laut) sampai dengan warisan budaya aceh yang bernama meunasah.
[Source]https://maa.acehprov.go.id/news/detail/fungsi-meunasah-sebagai-ikon-budaya-adat-aceh1
Meunasah adalah salah satu prasarana ibadah yang memiliki multifungsi bagi masyarakat Aceh sejak berdirinya kerajaan Islam di Nusantara. Selain sebagai tempat ibadah, meunasah juga berfungsi sebagai tempat berdiskusi, berdialog, bermusyawah dan sebagai tempat menuntut ilmu agama. Meunasah sebagai kearifan lokal dalam budaya Aceh berhasil menggabungkan tiga dimensi kehidupan yang sangat penting bagi ummat islam yaitu; hubungan manusia dengan sang khalik ( hablumminallah) , hubungan manusia dengan manusia ( Hablumminannas ) dan hubungan manusia dengan alam ( lingkungan sekitar) .
Qanun Al- Asyi yang juga dikenal sebagai Undang-Undang Dasar (UUD) Kerajaan Aceh menyebutkan bahwa menjadi syarat mutlak di setiap perkampungan yang ada di Aceh untuk mendirikan satu meunasah untuk di kelola oleh keusyik ( kepala desa) dan beberapa perangkat gampong ( desa) yang lainnya, seperti Teungku Imum ( Imam yang memimpin shalat berjamaah di meunasah) , Tuha peut ( empat orang penasehat desa yang tertua ) dan ketua pemuda. Meunasah dulu juga berfungsi sebagai sekolah dasar bagi masyarakat dalam menuntut ilmu agama dan memperbaiki akhlak . Di meunasah diajarkan pelajaran agama yang berbasis kepada fardhu ‘ain dengan merujuk kepada kitab- kitab dasar jawi berbahasa melayu. Sekolah menengah selanjutnya baru dipusatkan di mesjid pemukiman ( kumpulan dari beberapa desa) . Di sinilah diajarkan berbagai macam kitab lanjutan karangan para ulama salaf yang belum pernah diajarkan di meunasah, kemudian di lanjutkan ke pendidikan agama yang paling tinggi yang berada di dayah yang didirikan oleh ulama-ulama karismatik Aceh.
[Source]http://wikimapia.org/35681802/Meunasah-Desa-Gampong-Buga-Kecamatan-Seulimeum
Ditinjau dari segi arsitekturnya, pembangunan meunasah berbeda dengan pembangunan rumah yang umumnya membujur timur barat. Pembangunan meunasah harus membujur utara selatan sekaligus kita dapat mengetahui ke arah mana kiblat shalat. Dulu meunasah sering juga difungsikan sebagai tempat beristirahat di waktu malam bagi beberapa kaum muda yang masih single dan kaum duda yang enggan tidur dirumah mereka masing-masing.
Seiring dengan berjalannya waktu kita dapat menilai dan mengambil kesimpulan, bagaimana fungsi meunasah yang dulu dengan era kaum milenial saat ini. Meunasah di era kini sudah mulai sepi. Terdapat pergeseran nilai generasi masa kini dalam melihat meunasah bukan lagi sebagai pusat kebudayaan dan keagamaan di kampung-kampung. Shalat lima waktu secara berjamaah tidak lagi dihidupkan di meunasah. Azan hanya terdengar diwaktu magrib, ada beberapa meunasah yang masih menghidupkan jama’ah shalat shubuh. Sekarang meunasah ramai bukan pada shalat lima waktu, melainkan disaat peringatan Maulid, acara kenduri gampong, menjelang pemilu dan pada hari pemungutan suara. Walaupun kondisi fisik meunasah yang sudah banyak berubah, dari yang dulunya bermaterial kayu menjadi bertembok semen dan berlantai keramik, namun ruhnya meunasah sudah mulai hilang. Bahkan ada beberapa kepala desa beserta aparaturnya yang tidak mengfungsikan meunasah sebagai tempat bermusyawarah dan berdiskusi lagi. Mereka lebih memilih berdiskusi di warung-warung kopi berkonsepkan masa kini lengkap dengan fasilititas internet (wifi) dan televisi.
Wali nanggroe sebagai pemangku adat tertinggi di Aceh sudah seharusnya bersinergi dengan stake holder lainnya selaku pengamban tugas pemerintahan untuk mengambil sikap serius terhadap keberadaan meunasah yang sudah mulai terkikis nilai kerifan lokalnya di Aceh. Kita perlu mengoptimalkan fungsi meunasah untuk melestarikan kebudayaan bernilai religius dan peradaban Aceh. Jika ini tidak dilakukan, sangat dikhawatirkan romantisme meunasah menjadi seperti historis gereja di negara barat, dimana gereja berfungsi sebagai tempat perayaan hari-hari besar dan acara perkawinan. Apabila ini yang terjadi maka riwayat kebudayaan religius di Aceh tinggal kenangan yang hanya bisa kita ceritakan kepada generasi-generasi selanjutnya. Na’udhubillahi min zalik (Kita berlindung terhadap hal yang demikian).
Congratulations @mirzatanjongan! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Do not miss the last post from @steemitboard:
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!
This post is manually curated by @dblog.supporter.
Visit https://dblog.io now! This is a tribe for all bloggers on Steem blockchain.