Data faktual angka kemiskinan Aceh yang tercatat di Badan Pusat Statistik pada bulan September 2019 mencapai 15,01 Persen atau hampir 810 ribu penduduk miskin, telah menjadikan Aceh menjadi Provinsi termiskin di Sumatera.
Dalam menghitung kemiskinan BPS menggunakan konsep kebutuhan dasar, dimana pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari pelaku ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan (makanan dan bukan makanan).
Beberapa komponen Garis kemiskinan Aceh Telah dipublish oleh BPS Aceh dalam Profil Kemiskinan dan Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Aceh September 2019 No. 04/01/11/Th.XXIII, 15 Januari 2020.
Secara Nasional, Rumah Tangga akan dikategorikan miskin jika pendapatan dibawah 1,99 juta/perbulan. Yang mengejutkan, rokok kretek filter masih menjadi komoditi makanan nomor 2 (dua) yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan sebesar 9,72 persen di perkotaan dan 10,78 persen di pedesaan, selain beras dan ikan tongkol/tuna/cakalang.
Sementara komoditi bukan makanan yang berpengaruh terhadap garis kemiskinan adalah perumahan sebesar 5,53 persen di perkotaan dan 4,73 persen di perdesaan, bensin (4,41 persen di perkotaan dan 3,93 persen di perdesaan dan listrik (3,16 persen diperkotaan dan 1,86 persen di perdesaan). (BPS Aceh).
Sebuah opini dari Jasman J Makruf yang berjudul Rokok Pangkal Miskin mengestimasi pengeluaran penduduk Aceh untuk belanja rokok setara 7,6 Trilyun dengan asumsi harga Rp.10.000/bungkus/hari dari 1,87 juta jiwa perokok. (https://aceh.tribunnews.com/2019/02/09/rokok-pangkal-miskin).
Bicara Rokok, Harus ada upaya yang berbeda dalam penyadaran bahaya merokok bagi masyarakat, tidak cukup dengan kampanye anti rokok, Naiknya bea cukai dan sanksi aturan Qanun tentang Kawasan Tanpa Roko.
Keterkaitan Rokok dengan Kesehatan dan Olahraga menjadi alternatif baru dalam program program pendidikan bagi pegiat sosial yang dimulai dari usia dini agar ternanam sikap bangga tidak merokok atau bebas rokok dalam pergaulan sosial.
Bicara kebutuhan rumah sebagai penyumbang angka kemiskinan menjadi sebuah keprihatinan, kebutuhan rumah penduduk Aceh masih sangat tinggi ditambah dengan harga sewa rumah yang semakin naik telah mendukung pengembang property melirik ini sebagai bisnis menguntungkan.
Dana umat sendiri melalui Baitul Mal Aceh pada tahun 2019 telah mengalokasikan anggaran pembangunan rumah dhuafa sebanyak 1100 unit rumah namun harus ditunda pelaksanaannya, karena keterbatasan waktu dalam proses pengerjaan dan akan di mulai pada awal tahun 2020.
Keterlambatan proses ini tentu membuat beberapa pihak baik ombusmand dan LSM melihat kelemahan dalam pelayanan birokrasi di Pemerintahan Aceh, karena butuh waktu hampir 2 tahun calon penerima rumah dhuafa yang sudah diverifikasi tahun 2018 untuk bisa menikmati hasil pembangunan.
Dari sisi Anggaran dan Kemiskinan, Status provinsi termiskin menjadi sebuah tanda tanya besar, karena berbanding terbalik dengan anggaran yang dikucurkan untuk Aceh baik dana desa sebesar 4,95 Trilyun dan dana Otonomi khusus Aceh sebesar 8,35 Trilyun selama Tahun 2019.
Sebuah pendapat dari Sofyan Syahnur dalam opininya yang dimuat di Media Serambi Indonesia telah melihat adanya "planning Trap" atau Jebakan perencanaan menjadi satu faktor untuk pembangunan berkelanjutan di Aceh. (https://aceh.tribunnews.com/2012/09/26/planning-trap-pembangunan-berkelanjutan)
Prioritas pembangunan tidak efektif dan tepat sasaran, dan yang paling disayangkan pembangunan infrastruktur tidak didukung dengan program pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Bicara tenaga kerja, kecenderungan menggunakan tenaga kerja untuk proyek pembangunan dari luar Aceh juga mendorong pendapatan perkapita "asoe lhok" juga menurun dan hal yang paling mendasar disebabkan etos kerja pekerja Aceh.
Adanya kecenderungan pekerja Aceh mempertanyakan komitmen pekerjaan dengan standar harga tinggi untuk upah, ditambah dengan mindset Rakyat Aceh yang terlanjur melihat Proyek adalah pekerjaan yang memiliki untung besar, terlepas dari banyaknya commitment fee yang sudah menjadi rahasia umum yang dikenal sebagai istilah "hak pawang".
Budaya "Ngopi dan konkow" orang Aceh juga disinyalir menjadikan jam kerja tidak efektif, bayangkan mulai kerja jam 9 pagi, dengan waktu coffee break dua kali sehari, sekitar jam 11 menjelang siang dan jam 3 Sore ditambah lagi waktu istirahat siang.
Sumber : Pesona.Travel
Sebuah kearifan lokal yang secara kasat mata adalah persoalan budaya dan mindset, membuat pelaku usaha memilih memperkerjakan tenaga dari luar Aceh.
Pengeluaran biaya sosial yang terlalu tinggi dalam hal adat istiadat juga menimbulkan dilema tersendiri di kultur budaya Orang Aceh, acara khanduri dan syukuran dalam berbagai bentuk mulai dari turun anak. khitan, walimah yang berlapis lapis, Identik "Meugang" dengan daging dan membangun silaturahmi kekeluargaan dengan "Teumuntuk", telah mendorong Aceh menjadi provinsi yang kaya Adat namun menggerus pengeluaran perkapita.
Mempertahankan budaya dengan frasa " mate aneuk meupat jeurat, mate adat pat tamita' (baca : anak meninggal ada kuburannya, adat yang hilang kemana harus kita cari) harus direkontruksi ulang, yang setidaknya tetap menjaga adat namun mampu meminalisir pengeluaran rumah tangga terkait adat istiadat yang sudah mendarah daging dalam masyarakat Aceh.
Dari sisi lain, budaya konsumtif orang Aceh juga mendorong prilaku membelanjakan uang untuk Keinginan bukan kebutuhan. Gengsi dengan status sosial, telah memicu masyarakat membelanjakan uang tanpa perhitungan jangka panjang, kemudahan mengakses kredit telah mendorong perusahaan leasing atau pinjaman kredit tumbuh subur di Aceh, Kemudahan mendapatkan sepeda motor bahkan mobil baru atau alat alat elektronik dengan uang muka kecil telah berefek pada kemampuan finansial masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga.
Dari sisi Produksi, Usaha Rumah Tangga dan mikro tidak mampu bersaing di pasaran karena kurangnya daya inovasi dan kreativitas masyarakat ditambah lagi mulai menurunnya budaya Gotong Royong telah menempatkan kegiatan sosial kemasyarakatan di Aceh seperti panen padi bersama, perbaikan saluran irigasi sawah, membangun rumah warga fakir dan kegiatan sosial lain menurun drastis.
Dari Gambaran di atas terlihat beberapa faktor yang mendorong Aceh Miskin secara Struktural, butuh penelitian lebih lanjut sebagai upaya menemukan hal hal yang subtansial terhadap faktor kemiskinan, sehingga intervensi Pemerintah Daerah mampu menemukan formulasi yang tepat dalam mengentaskan kemiskinan di Aceh.
Terakhir, satu hal yang perlu di ingat bagi kita semua, Kondisi Awak Aceh setelah di timpa konflik berkepanjangan dan musibah Tsunami 2004 memiliki angka kemiskinan sebesar 32,6 % pada tahun 2005.
Rekor buruk ini juga harus dilihat secara seimbang BPS Aceh mencatat penurunan sebanyak 9000 orang (15,32 %) dari data bulan Maret 2019, sehingga angka kemiskinan Tahun 2019 turun sebesar 0,31 Persen dan ini merupakan nilai tertinggi di Sumatera dan peringkat no 7 secara Nasional.
Wallahu aqlam bishawab.
Blangpidie, 19 Januari 2020.
Semoga untuk kedepannya ekonomi di aceh membaik. Dan semoga kemiskinan berkurang. Oya, kenapa gunakan 2 tag kamu?