"Hamzah Fansuri; Simbol Peradaban Kota Subulussalam," begitulah judul buku yang terbit akhir tahun 2017 itu. Buku bergenre "ilmiah populer" yang diterbitkan melalui kerjasama Zahir Publishing Yogyakarta dan Lhee Sagoe Press Banda Aceh telah menyita perhatian publik di Singkel Raya, khususnya masyarakat kota Subulussalam. Buku yang ditulis bersama oleh Budayawan Kota Subulussalam, H Damhuri dan Antropolog Kawakan, Muhajir Al Fairussy itu seolah memecah kebekuan literasi di kawasan setempat. Betapa tidak, seperti yang dipaparkan oleh kedua pembedah, "Dunia kepenulisan Singkel modern, masih sangat minim"
Buku Hamzah Fansuri; Simbol Peradaban Kota Subulussalam, pada gilirannya meneguhkan nama Hamzah Fansuri sebagai simbol inspirasi bagi kota tersebut. Selama ini, belum ada daerah yang secara tegas menisbahkan nama penyair dan ahli mistik itu sebagai simbol inspirasinya. Jikapun dikatakan bahwa Barus adalah tempat kelahiran Hamzah Fansuri, maka di Subulussalam di Desa Oboh, makamnya justru tersimpan dan meng-abadi. Makam Hamzah Fansuri di Desa Oboh Subulussalam adalah indikator utama bahwa kota tersebut layak menisbahkan diri sebagai Kota Peradaban Hamzah Fansuri. Tinggal bagaimana kota tersebut kemudian menerjemahkan “Hamzah Fansuri” dalam konstruksi pembangunan baik dalam wilayah teknis maupun teoritis. Misalnya konstruksi tasawuf “bertemu Tuhan di dalam rumah,” sebagai gagasan “back to nature” dan “back to local wisdom” yaitu upaya membangun ekonomi kota subulussalam yang berbasis kebudayaan, agama dan lingkungan hidup.
Dalam ulasannya pada bedah buku di STIT Hafas, H Damhuri (penulis pertama), menyebutkan upaya-upaya yang dilakukan untuk meneguhkan Hamzah Fansuri sebagai simbol peradaban, simbol pendidikan dan narasi wisata religi bagi Kota Subulussalam. Sementara penulis kedua, Muhajir Al Fairusy menyebutkan eksistensi Singkel sebagai negeri para ulama, dimana Aceh berhutang identitas pada dua ulama besar dari daerah ini. "Apa jadinya Aceh, tanpa dua ulama Singkel, Syekh Abdurrauf dan Hamzah Fansuri?" Tukas Kandidat Doktroal Universitas Gajah Mada itu.
Acara bedah buku ini kemudian mengundang antusisas dari para peserta yang terdiri atas, dosen, pegawai pemerintah, politisi, tokoh budaya dan para ustadz. Ada begitu banyak pertanyaan yang diajukan. Setidaknya beberapa pertanyaan tersebut: Pertama, menyoal keterputusan sanad antara tasawuf Hamzah Fansuri dan geliat sufisme di Aceh, khususnya di Singkel. Mereka juga bertanya mengenai persamaan dan perbedaan ajaran tasawuf Hamzah Fansuri dengan ajaran tasawuf berbentuk tarekat dan suluk yang berkembang dikawasan Singkel Raya. Karena umumnya masyarakat Singkel Raya adalah penganut tarekat Naqsabandiyah dan bersanad kepada Syekh Muda Waly Darussalam Labuhan Haji. Kedua, keyakinan beberapa peserta bahwa Hamzah Fansuri adalah ulama panteistik sehingga mereka memperdebatkan penggunaan nama tersebut sebagai simbol kota Subulussalam. Ketiga, mempertanyakan langkah-langkah strategis yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengimplementasikan pikiran-pikiran tasawuf Hamzah Fansuri dalam kerangka pembangunan Kota Subulussalam. Kesemua pertanyaan tersebut dijawab secara bergantian oleh kedua pemateri.
Disela-sela Acara peserta disuguhkan hidangan sederhana, goder (minuman menyerupai cendol berbahan sagu) dan makanan ringan yang terbuat dari rebusan jagung, pisang dan ubi. Para peserta sangat menikmati hidangan yang bersahaja tersebut, bahkan sebagian dari mereka menyebutnya sebagai hidangan khas Aceh Singkel.
Godekh terbuat dari sagu yang diolah dari batang /pohon rumbia. Dan salah satu desa disingkel mengabadikan nama pohon ini yaitu Teluk Rumbia.
Adik na khanto gedang, ato adik khanto gedang ia? Hee
dua nama satu wujud
goder makanan tradisional
Saya mengagumi syekh hamzah fansuri
Terimakasih, Hamzah Fansuri pujangga sufi yang terkenal...