SUDAH berapa lama kaca jendela itu memaparkan waktu, angin, debu-debu, dan juga rasa kehilangan, Lon? Kamu tak akan menemukan apa-apa di sini. Di tempat paling sunyi ini, kita tak pernah benar-benar membuat kubangan hati yang kita remukkan sendiri. Ini bukan tahun yang tepat untuk kita saling jatuh cinta. Di hari ini, sesuatu tak lagi sama. Segala yang kita tinggalkan, sejatinya tak pernah sungguh-sungguh terlepaskan. Dan kamu mengira burung-burung musim dingin tak sekalipun pernah tersesat ketika pulang.
Di tikungan itu aku memandangi punggungmu yang menjauh diikuti kabut yang turun seolah dipesan bumi untuk menutupi tubuhmu dari mataku. Di tikungan itu kamu terbenam dan hatiku tanggal. Tapi di ujung jalan, bayangan kita bertabrakan.
"Tapi kukira kamu telah lupa jalan pulang," aku menggamit lenganmu dan kamu membalasnya. Dalam sekian helaan napas aku merasakan hangat yang pernah hilang. Hangat yang aku, mungkin juga kamu, sudah nyaris lupa bagaimana menempatkannya kembali.
"Tak perlu mengantarku. Kupu-kupu pulang tak membutuhkan bantuan angin." Kamu menunduk, tapi tak benar-benar tampak tunduk dan hangat dari lenganmu seakan-akan kurasakan menyusut. Lalu aku hanyut. Malam ini, untuk pertama kalinya aku melihat bagaimana matamu menganak sungai. Dan seperti seorang yang bodoh, aku jatuh cinta padamu lagi. Berulang lagi. Dan lagi.
Langit sudah berwarna tembaga, tapi pagi tak datang terlambat meski kamu lupa mengunci pintu kamar. Matamu menunjuk ke gordin, isyarat aku menyibaknya, "Jangan menahan cahaya yang hendak datang padamu," katamu berbisik, dekat di telingaku.
"Aku mencintaimu," lalu bibir kita berpagutan.
Di luar sana, kita tak bisa mengendalikan laju waktu. Pandangan kita tertahan pada kaca, pembatas yang tak benar-benar menghalangi.
Kamu sudah lupa kapan terakhir kali kita duduk lagi di bangku itu. "Tak baik mengenang rasa sakit," katamu. Tapi kataku, tak akan menjadi lebih baik merawat rasa sakit.
"Jangan terlalu pendiam, Shi! Setidaknya kamulah yang memiliki kemauan hendak atau bahkan tak perlu mengatasi kehilangan," katamu.
Langit sejauh pandangan, sudah pucat sejak tadi. Ini musim dingin yang seperti mampu meremukkan semuanya. Musim dingin terburuk selama sepuluh tahun terakhir di kota ini. Gunung-gunung yang berjajar tak sama rata dan kabel-kabel listrik yang tampak menggantung tak kencang itu rapat tertutup es. Langit seperti telah runtuh dan menyamarkan ujung daun-daun yang berwarna putih keperakan. Kota Jiaoxi seperti kota yang asing.
Tapi dua bulan kedepan kamu akan menyaksikan sakura bermekaran di antara pohon-pohon pinus dan maple yang menjulang tak rapat dan saling berdesakan.
Di sini, ranting-ranting pepohonan banyak yang patah sebelum terinjak. Kisi-kisi jendela berkerik-kerik dan tampak kelelahan. Tapi hatiku, pasti juga hatimu, hati kita, sekat ruangnya tak lagi bisa tersatukan.
Dan pada akhirnya memang begitulah, rasa cinta yang tumbuh secepat waktu, tak akan benar-benar memilah rasa cemburu, "Aku hanya pernah percaya, cintamu akan bertumpuk pada masa ketika semuanya kita rasakan menjadi datar," jawabku.
Di mana kita sekarang berada, Lon? Aku rindu pada masa awal menangkap cahaya matahari yang jatuh di punggungmu dan buru-buru kukatakan, "Aku yang duduk dekat jendela!" Dan kamu langsung mencetak sebuah bayangan tentang masa depan pada kaca itu, "Kita abadi..."
Setelahnya hanya diam, hati kita yang sibuk berencana.
"Aku tak layak kamu cintai. Setidaknya saat ini..."
"Tapi aku telanjur, Lon." Tiba-tiba aku ingin sekali menangis.
Lalu hening di antara kita. Sekian menit, sekian rasa sakit, sekian tikaman sepi.
Pohon mangga di depan bangku kita, satu-satunya benda yang pertama tertangkap dari sebalik kaca jendela, sebelum tikungan tajam yang kelak menenggelamkanmu itu, bergerak-gerak ditiup angin. Hawa dingin menembus semua yang ada, seolah memang sengaja dipaparkan untuk menyerah dalam gigil.
Kamu menarik lengan dan memandangi sekilas arloji, "Sembilan empat lima." Wajahmu tampak gembira. Atau pura-pura gembira. Tepat pukul sepuluh, ia menjemputmu, duduk di bangku itu, bangku yang dulunya milik kita.
Dia akan tersenyum paling manis menyambutmu dan kamu menyusulnya duduk, berbincang tentang masa depan, usaha makanan khas kota asal ayahmu, keinginan memiliki dua anak yang penggemar sepak bola, memandikan kucing-kucing tiap petang. Lalu kalian bergegas. Pergi lekas-lekas. Di tikungan itu, aku memandangi punggungmu yang bisu. Di tikungan itu, aku melepasmu dengan cara paling baik.
"Mestinya kita ketemu sejak dulu. Sepuluh tahun yang lalu mungkin aku bukan yang sekarang," kalimatmu bimbang. Jadi kita terlambat bertemu, aku bertanya. Entahlah, jawabmu. Tapi cinta tak pernah datang terlambat. Ia datang dengan tak mudah. Tak peduli meski mungkin kamu tengah tak siap.
"Padahal ketika itu kamu telah mengenalku. Kenapa tak segera mencariku?"
Embun memuai, naik dan pelan-pelan raib. Pada kaca jendela itu, yang telah memaparkan segala cerita, cahaya matahari muda seperti tertahan untuk sampai pada kulit kita. Kamu memandangnya. Aku memandangmu. Aku mendengarmu. Tapi mungkin kamu tidak.
Sebuah jarak membentang tak kumengerti, tak pernah kita mengerti. Kita terserak dan lalu terperangkap dalam ruang sunyi. Hanya tersisa sepi setelahnya. Sepuluh tahun lalu, menurutku, tak ada yang berani bertaruh itu saat terbaik kita menuliskan cerita. Katamu, kalaupun ada hal yang mesti disesalkan, adalah pertemuan yang tertahan sekian hitungan waktu. Tapi kataku, tak baik terlalu menyiksa diri dengan perasaan.
"Tak ada yang perlu disesali. Hidup terus berjalan," katamu buru-buru meralat.
Tetapi pada akhirnya kamu harus memilih. Tak boleh salah memilih. Sekali saja kamu salah menjatuhkan pilihan, kamu tak akan lagi berkesempatan memperbaikinya. Sebuah hati yang remuk, Lon, tak bisa lagi kamu menyusunnya menjadi seutuh sebelumnya.
Dari kaca jendela itu aku menangkap udara yang menggantung, tak terjatuh, tak juga terbang berlari. Jika mungkin, pasti kulakukan menahan waktu dan menggamit lagi lenganmu lebih erat dari ini. Lebih dalam dari rasa ini. Lebih jauh menyelam dari masa sepuluh tahun sebelum hari ini.
Tapi mengingat bagaimana gadis itu kemarin menangis menekuri bangku itu, yang sebelumnya adalah bangku kita, dari kaca jendela yang seakan tertahan memaparkan waktu, angin, debu-debu, rasa kehilangan; seketika kupikir tak mungkin memintamu kembali.
Di tikungan itu, aku memandangi punggungmu yang menjauh. Kabut luruh, hawa dingin seperti lusuh. Aku pasti melepasmu dengan cara yang baik. Di tikungan itu kamu terbenam dan hatiku tanggal. Tapi di ujung jalan, bayangan kita bertabrakan.
Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq