Bayangan memanjang bayangan memendek. Tubuh membesar tubuh mengecil. Ada yang muncul ada yang hilang. Rasa-rasanya ada tapi tiada. Rasa-rasanya tiada tapi ada. Ketidakmengertian seketika menjadi teman sejatinya.
Lelaki paruh baya itu sadar ada sesuatu yang berbeda pada dirinya kini. Yang membuat ia tak nyaman dan ingin melepaskan diri dari semuanya. Tapi ia tak bisa menjelaskan apakah sesuatu itu. Perubahan itu ada pada tubuhnya. Seperti sesuatu yang mendesak-desak minta keluar sehingga menimbulkan gerakan-gerakan aneh yang tak diinginkannya. Ia tahu ada tatapan aneh ketika ia mulai memperlihatkan gerakan-gerakan di luar kemauannya itu. Ia tahu semua orang termasuk anak istrinya mulai curiga dan suka menatapnya lama-lama. Tapi ia sama sekali tidak berdaya. Ketika menyadari hal tersebut, cepat-cepat ia bersikap seperti semula. Ia tidak mau orang menganggapnya aneh. Meski harus diakuinya, ia memang aneh.
Kini, ia berdiri di depan sebuah cermin yang besar dan tingginya bahkan melebihi porsi tubuhnya, agar ia bisa dengan leluasa melihat seluruh sisi tubuhnya yang bisa terlihat olehnya, untuk memastikan bahwa ia memancarkan pesona kharismatik seorang pria.
Didekatkannya wajahnya ke cermin besar itu. Ia meneliti dengan saksama. Tidak ada yang berubah, pikirnya. Wajah oval dengan kumis tipis yang bertengger di atas bibirnya masih ada di sana. Semua masih sempurna. Sejenak ia menyunggingkan senyum, namun hilang semenit kemudian.
Sekilas telinganya menangkap suara gaduh di depan pintu kamarnya. Seperti sesuatu yang sedang berlari-lari. Suara itu semakin gaduh. Semakin dekat. Ia menajamkan pendengarannya. Oh, bukan! Bukan sesuatu. Tapi sekelompok!
Dengan sigap tangannya menarik pegangan pintu dari dalam. Dan, wuuusss… segerombolan makhluk kecil bermulut monyong dan berbunyi crit crit crit masuk menyerbu dengan cepat ke dalam kamarnya. Ia menganga tak percaya. Seketika tubuhnya seperti sebatang pohon mati yang tertancap sangat dalam ke dasar tempatnya berdiri. Mukanya seperti tiada berpembuluh darah. Ia pucat. Darimana makhluk-makhluk pengerat itu datang? Sampai puluhan, oh tidak… mungkin ratusan. Apakah rumah mewahnya masih kurang ‘steril’ dari makhluk menjijikkkan itu? Bukankah makhluk itu suka bersemayam di tempat-tempat yang sempit, pengap, kotor dan bau? Tempat tinggalnya tidak seperti itu.
Belum sempat ia berbuat apa-apa, gerombolan makhluk bermulut monyong dan berbunyi crit crit crit itu telah memenuhi setiap sudut kamarnya yang wangi. Di atas lemari, di meja rias milik istrinya, serta di tempat tidur empuknya. Makhluk-makhluk itu berloncatan ke sana kemari. Seperti anak kecil yang asyik dengan permainannya. Sekilas ia mendengar bunyi crit crit crit makhluk itu lambat laun berubah menjadi suara tawa.
Lelaki itu masih terpaku di tempatnya ketika kemudian disadarinya seperti ada yang menggelitik-gelitik kakinya, paha, perut, tangan hingga kepalanya. Gerombolan makhluk itu mulai bertengger di sekujur tubuhnya. Lelaki itu terkejut bukan kepalang. Ia histeris.
“Wooiii! Di mana orang-orang? Tolong aku! Tolooong….!” Ia melolong sambil sambil mengibas-ngibaskan tangan dan kakinya ke segala arah. Makhluk-makhluk itu begitu kuat mencengkeram otot-ototnya. Tawanya semakin membahana.
Ia seperti mendengar sebuah isyarat dari gerombolan makhluk tersebut.
Lelaki itu terus saja berteriak meminta pertolongan.
Seperti mengerti akan sesuatu, gerombolan makhluk itu mulai merenggangkan cengkeramannya. Turun satu persatu dari tubuhnya. Lalu bergabung dengan teman-teman lainnya yang tadi bertengger di berbagai tempat. Seperti dikomando, mereka keluar tanpa suara. Begitu rapi. Hingga dalam sekejap kamarnya kembali seperti semula.
“Pak! Ada apa, Pak? Kenapa malam-malam teriak?” dua pria muda datang tergopoh-gopoh dari luar kamar. Mereka hanya berdiri heran di depan pintu.
“Goblok! Kenapa baru sekarang kalian datang? Tikus-tikus itu sudah pergi!” katanya meradang.
“Tikus? Di mana tikusnya, Pak?” tanya salah seorang pesuruhya tak mengerti.
“Di kamarku. Jumlahnya ratusan. Kalian tahu? Mereka memenuhi kamarku. Mereka naik ke atas tubuhku!” laki-laki itu menggeram marah. Mukanya yang tadi seputih kapas kini dipenuhi kilatan-kilatan api.
“Darimana datangnya tikus-tikus itu, Pak?” dua pria muda itu semakin heran saja.
“Bah! Mana aku tahu! Tiba-tiba saja mereka menyerbu kamarku!” sembur laki-laki itu lagi.
Lalu ia membangunkan semua orang di rumahnya―anak istri, para pembantu, supir, tukang kebun―untuk mencari di setiap sudut rumah sarang makhluk yang barusan mengganggu ketentramannya, oh... bukan hanya barusan, tapi beberapa waktu lamanya.
Hingga menjelang pagi mereka masih sibuk dengan kegiatan tersebut. Hasilnya nihil. Tak ada tanda-tanda adanya sarang makhluk bermulut monyong dan berbunyi crit crit crit seperti yang dikatakan lelaki itu.
Lelaki itu memutuskan untuk hengkang sejenak dari rumahnya. Di rumah ia terus-terusan merasa dihantui oleh bayangan-bayangan makhluk brengsek itu. Ia memilih hotel termewah dengan berbagai fasilitas terlengkap sebagai tempat peristirahatannya.
Pikirannya nyaris melayang ke alam bawah sadar ketika telinganya menangkap suar-suara kecil. Spontan ia duduk tertegak di atas tempat tidur. Matanya melotot nanar ke segala penjuru. Napasnya memburu. Keringat mulai membanjiri kemeja putih yang melekat di tubuhnya. Ia bangkit dari tempat tidur.
Sayup-sayup suara itu berubah menjadi gaduh. Persis ketika malam itu ia dikunjungi oleh makhluk itu. Oh, makhluk itu lagikah? Ia bergidik! Sungguh tak sanggup membayangkan jika makhluk menyerbunya kembali. Ia memutuskan tak akan membuka pintu seperti yang dilakukannya malam itu. Namun itu tetap tak mampu mengusir kegelisahannya.
Tiba-tiba dari jendela yang sedikit terbuka di sisi kanan kamar hotelnya terdengar suara yang ramai, seperti malam itu. Belum sempat ia berbuat apa-apa, segerombolan makhluk bermulut monyong dan berbunyi crit crit crit masuk berebutan lewat jendela sempit itu.
“Hai kawan, kami datang lagi. Hihihiiii…” seekor yang paling besar―sepertinya pemimpin mereka―tiba-tiba mengeluarkan suara. Berbicara seperti manusia!
“Apa? Tidak mungkin!” ia tak memercayai pendengarannya. Ia mundur beberapa langkah. Matanya dikucek-kucek hingga berair. Ini pasti mimpi, ia meyakinkan dirinya berkali-kali. Tapi adakah mimpi yang membuat rasa sakit di sekujur tubuhnya? Tak hanya tangan, juga pipi, dada, dan kaki menjadi sasaran cubitannya. Sakit!
“Hihiiiii… jangan takut, kawan! Kami hanya ingin mengajakmu bermain bersama kami. Hanya bermain saja.”
“Tidak! Tidak! Pergiiii…!” ia menghindar naik ke atas tempat tidur. Tubuhnya merapat ke dinding.
“Kau kan bagian dari kami, mana mungkin kami tak mengajakmu pergi. Ayolah!” seekor yang paling besar tadi melompat ke atas tempat tidur. Matanya menatap tajam menembus aura ketakutan di mata lelaki itu.
“Katakan! Siapa kalian? Mengapa kalian bisa berbicara seperti manusia? Apakah kalian siluman? Dedemit? Monster?” lelaki itu ketakutan setengah mati. Tubuhnya makin merapat ke dinding. Seandainya bisa, tentu ia akan sesegera mungkin menyusup melewati dinding tersebut.
“Hhiihiiii….” Makhluk bermulut monyong dan berbunyi crit crit crit itu cekikikan riuh rendah. Suaranya menciptakan sebuah melodi yang tak beraturan. Seekor yang paling besar bahkan sampai tertawa terbahak-bahak sembari memegangi perutnya.
“Marilah ikut dengan kami! Nanti kami akan menjelaskannya,” tikus-tikus itu menaiki tubuhnya.
“Tidak! TIDAAAAK!!!” lelaki itu meronta sekuat tenaga. Lolongannya membelah malam.
Tiba-tiba keanehan itu datang lagi. Tanpa bisa dicegah. Rasanya seperti ada sesuatu yang mendesak-desak keluar dari tubuhnya. Ia terbelalak ketika sekonyong-konyong bokongnya seperti mengeluarkan sesuatu. Mula-mula sedikit. Lalu bertambah panjang. Hingga berhenti pada bagian ujungnya yang mengecil dan lancip.
“Haa! Apa ini? Kenapa aku berekor?” Dan kemudian disadarinya bahwa seluruh tubuhnya sudah dipenuhi bulu-bulu halus. Kumisnya memanjang ke samping. Telinganya tertegak ke atas. Kaki dan tangannya memendek. Tubuhnya menjadi kecil dan ringan. Mulutnya monyong mengerucut ke depan. Suaranya berubah menjadi crit crit crit yang riuh.
Ia sama sekali tak berdaya ketika kemudian ia ikut bergabung dengan makhluk yang tadi memanggilnya teman.
SELESAI.
Hm, kami pun ternganga. Harus komen apa ya, Ky? Kasian kali bapak tu. Tapi ini pasti karena balasan atas perbuatannya yang memang layak utk itu kan?
Serem ya?
Keren, Kak. Sang Koruptor itu gak akan pernah bahagia. Tikus berwujud manusia.
Karma
Satire!
I've read your story and i like it. Please see my story here https://steemit.com/story/@olet-rahma/a-journey-in-a-fairy-tale-world-indonesia-english-b049cdd9df9b2
Kenapa dia nggak tidur sama istrinya pada malam kejadian pertama di rumahnya? Harusnya kan bisa bangunin istrinya saat kejadian itu.