Menurut pengamatan saya, pasca MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 hingga saat ini rakyat Aceh semakin terkotak-kotak. Sebelumnya, rakyat Aceh sangat kompak bahkan satu suara dalam memperjuangkan kepentingan Aceh.
Belum lekang dalam ingatan kita. Tanggal 08 November 1999, jutaan rakyat Aceh tumpah ruah menghadiri Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Aceh di Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Saya yang waktu itu masih duduk di bangku kelas 2 SMA juga ikut serta. Hanya bermodal nekat, tanpa uang, bersama dengan seorang teman menyetop salah satu truk yang mengangkut rombongan ke Banda Aceh di Simpang Ceubrek, Aceh Utara.
Meski tidak punya uang, selama dalam perjalanan pergi maupun saat pulang, saya tidak kelaparan. Hampir sepanjang jalan, masyarakat-terutama di kawasan Kabupaten Pidie- berjejer membagikan makanan kepada semua rombongan yang melintas. Bungkusan berisi aneka makanan dan minuman seperti jatuh dari langit.
Tidak hanya itu, masyarakat juga menyirami air ke arah kami. Karena cuaca saat itu lumayan panas. Saya terharu, betul-betul terharu.
Di bawah terik matahari yang menyengat kulit, dengan kepala terikat kain putih bertuliskan "referendum", hikayat "Prang Sabi" menggema tiada henti, sesekali terdengar pekikan "Allahu Akbar", padahal tidak ada yang memberi komando.
Demikian juga saat pelaksanaan Sidang Raya Rakyat Aceh untuk Kedamaian (Sira-Rakan) di Banda Aceh, November Tahun 2000. Waktu itu saya baru beberapa bulan jadi mahasiswa. Lokasi acara di lapangan Tugu Darussalam, tepatnya di depan Biro Akademik Universitas Syiah Kuala.
Beberapa jam saya menunggu, tidak ada tanda2 massa menghadiri acara tersebut. Hanya sejumlah panitia dan mahasiswa yang tampak disitu. Melalui pengeras suara, Cut Nur Asyikin (alh), mengabarkan bahwa massa telah di hadang aparat keamanan.
Mendengar itu, saya meninggalkan lokasi acara, lalu dengan menumpangi bus mahasiswa (robur) pergi ke Mesjid Raya Baiturrahman. Disana saya melaksanakan shalat sunnah, bersimpuh, berdoa dengan uraian air mata, memohon kepada Allah agar masyarakat Aceh yang sedang dalam perjalanan bebas dari hambatan dan bisa tiba di lokasi acara dengan selamat.
Keluar dari mesjid, saya berdiri mematung di pintu gerbang mesjid sembari terus menerus memanjatkan doa dalam hati. Berselang 10 menit, tiba2 terdengar gemuruh suara hikayat "Prang Sabi" dari arah jalan samping Geunta Plaza.
"Alhamdulillah ya Allah," ujar saya dalam hati berkali-kali.
Benar saja, dua truk pengangkut massa tiba di Banda Aceh. Lalu diikuti truk-truk lainnya. Selanjutnya, saya bergerak kembali ke lokasi acara di Kopelma Darussalam. Sesampai di bekas gelanggang mahasiswa, ternyata ada sejumlah masyarakat yang sudah tiba. Tapi kondisi mereka sangat memprihatinkan. Beberapa diantaranya mengalami luka tembak di bagian kaki.
Informasi yang saya dengar, saat mereka dihadang melalui jalur darat, mereka nekat menggunakan jalur laut (saya tidak tau pasti perihal ini).
Singkat cerita, massa terus membanjiri tempat acara. Satu per satu perwakilan wilayah menyampaikan orasi politik. Yang paling saya ingat, Cut Nur Asyikin dan Alfian Alfian, presiden mahasiswa IAIN Ar Raniry waktu itu.
Dua kejadian di atas membuktikan bahwa rakyat Aceh bisa bersatu, senasib dan sepenanggungan.
Lalu, mengapa setelah perdamaian terwujud, justru kita bertengkar dengan sesama anak bangsa. Atau jangan-jangan orientasi sudah berbeda. Dari mensejahterakan rakyat Aceh, berubah menjadi mensejahterakan kelompok/golongan saja.
Ada pelajaran penting yang bisa saya ambil dari kisah diatas. Intinya, rakyat Aceh akan bersatu padu saat memiliki musuh bersama untuk tujuan yang sama. Dan bercerai berai saat sejumlah elit politik Aceh lebih mengedepankan kepentingan pribadi/kelompok/golongan.
Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan saat ini agar rakyat Aceh Kembali bersatu. Pertama, ciptakan musuh bersama, diantaranya kemiskinan dan narkoba. Kedua, perjuangkan tujuan bersama yakni mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh secara adil dan bermartabat. Tanpa itu, rakyat Aceh akan terkotak-kotak sampai selamanya.