Semua Berubah Saat Kita Mengalaminya

istockphoto_944915072_170667a.jpg

Hari Rabu sekitar pukul empat sore, sore itu cuaca sangat panas, Sumatra khususnya Provinsi Jambi Kabupaten Batang Hari, tempat dimana saya tinggal selama kurang lebih tiga tahun dalam pengembaraan mencari pengetahuan dan pengalaman bekerja. Cuaca saat itu sangatlah panas padahal sudah sore, seakan-akan saking panasnya kipas angin atau ace sudah menjadi barang kewajiban yang mesti ada di setiap rumah, "Panasnya cuaca di Sragen Jawa Tengah masih mending jika dibandingkan dengan pasnasnya cuaca di sini," ucap saya ke kawan kerja saat makan Batagor Bandung di LAPGAR (Lapangan Garuda).

Di Batang Hari Perumnas banyak juga paguyuban Orang Sunda, kebanyakan dari mereka adalah perantau bukan sebagai penetap. Banyak juga orang Garut sekitaran Samarang dan Cikajang yang berjualan Batagor, saya salah satu pelanggan setia mereka.

Setiap kali pulang kerja, bersama salah satu kawan, saya selalu menyempatkan untuk jajan Batagor Bandung, kami memakan batagor di pinggir Lapangan Garuda tempat bermain skateboard anak-anak remaja setempat. Sambil makan batagor dengan diselingi ngobrol seputar kerja dan rencana-rencana kedepan saya memutar lagu yang lumayan hits di masanya, lagu Lavina judulnya pilihan hatiku. Begini potongan lirik lagunya

Terlukis indah raut wajahmu dalam benakku

berikan ku cinta terindah yang hanya untukku

tertulis indah puisis cinta dalam hatiku

dan aku yakin kau memanglah pilihan hatiku

Di tengah tengah lagu Lavina ini, kawan saya tiba-tiba berhenti berbicara dan matanya semula menatap jauh sejauh mata memandang lalu kemudian menunduk ke bawah, dengan suara lirih dia berkata,

"Bang, maaf, bisa gak jangan memutar lagu ini?"
"Kenapa bro, ada apa dengan lagu yang satu ini?" jawabku dengan bertanya penuh rasa penasaran

"Pleasss bang hentikan musiknya!" Balas dia menggerutu.

Mendengar dia berkata seperti itu dengan raut muka sedikit menghelas aku langsung matikan musiknya.

Senja mulai menampakkan jingganya, angin sore mulai bersemilir membaur rambutku, suara lalu-lalang kendaraan mulai berkurang, anak-anak remaja yang main sepak bola satu persatu pada pulang, di beberapa masjid sudah mulai terdengar alunan suara ngaji al-Quran di kaset. Dalam hati, aku ingin segera mengajak kawan untuk pulang, namun sebelum bibir ini berucap, dia sudah mendahului berkata dengan nada suara setengah hati

"Aku punya kenangan tersendiri dengan lagu yang abang putar tadi, kenangan yang lumayan pahit, aku selalu berusaha untuk melupakan kenangan yang satu ini. Tau gak bang? Lagu Lavina ini adalah lagu kesukaan aku dengan seorang perempuan yang sekarang hilang entah kemana, lagu ini selalu kami nyanyikan menjelang kami tidur malam",
Dalam batin aku berucap "duhhhh merasa bersalah karena telah membuka kenangan pahit seseorang yang tengah berusaha ditutup rapat-rapat dalam sebuah ingatan,"

Raut wajah kawan saya nampak tenang namun penuh kelelahan batin yang tak berkesudahan. "Dulu, sebelum aku mengenal cinta, mengenal kasih sayang, aku selalu menganggap remeh anak-anak muda yang stres karena patah hati, aku selalu berfikir itu hal yang lebay dan kekanak-kanakan, namun semua itu berubah saat aku mengalaminya sendiri, aku sedih dan aku juga malu," ucap kawan, lanjutnya, "Bagaimana caraku agar bisa melupakan ini semua?"

Sebelum aku menjawab sekaligus memberi solusi, aku diam sejenak, memejamkan mata, mengerutkan dahi dan mengusap wajah dengan telapak tangan kiri lalu berkata, "Orang yang sangat kita cintai takkan bisa kita benci meski pun dia menyakiti kita sekian kali, bro, selama pikiranmu berusaha kuat untuk melupakan kenangan, itu bersamaan dengan kamu megingat-ingatnya, kalau pun bisa, di saat-saat tertentu pasti akan ada sesuatu yang mendorong ingatan kamu untuk mengingatnya, apapun itu jika kamu menghirup parfum orang yang kamu cintai, atau mendengarkan lagu seperti barusan, atau melihat kejadian yang sama seperti kejadian dulu bersama orang yang kamu cintai, itu semua dapat mengembalikan kenagan yang tidak kamu pikir akan mengingatnya,"

"lalu bagaimana aku seharusnya, bang?" sanggah dia dengan bertanya,

"Jalani saja, tidak ada kata paling indah kecuali mencintai takdir dan menjalaninya dengan hati penuh rasa merdeka, ini memang sulit tapi waktulah yang akan menjawabnya, tenanglah, percayalah, semua akan baik-baik saja." jawabku sambil menepuk bahu kanan kawan.

Suara gema sholawat yang sering diputar menjelag adzan sudah mulai terdengar, kami berdua memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.

Teman, untuk siapa saja yang membaca buku cerpen ini, aku ingin berpesan, "Terkadang ada luka seberapa besar kamu sakit dan mengeluh sekan-akan tidak ada harapan, tapi ternyata pulih dengan sendirinya. Inilah anugrah dari Tuhan."

Sumber gambar: https://unsplash.com/s/photos/lonely-man