Jika sebelumnya kita telah mereview habis bagian kelima dari seri Acehnologi yaitu Fondasi Peradaban Acehnologi yang terdiri dari 5 bab, kini saatnya memasuki bagian baru dari seri Acehnologi, bagian ke-enam: Tradisi Intelektual Acehnologi.
Untuk memulai bagian ini, penulis terlebih dahulu membahas bab tentang Cara Berpikir Orang Aceh. Dalam bab ini penulis bertujuan untuk menggali falsafah berpikir orang Aceh yang dikenal dengan istilah seumike (berpikir).
Untuk itu penulis menggunakan pendekatan spiritual hermenetika (ta'wil) yang bermaksud melihat sesuatu pemikiran dari bentuk keaslian atau makna awal dalam menelaah bagaimana proses berpikir orang Aceh dan apa saja yang mempengaruhinya.
Penulis mengatakan bahwa kajian tentang hal ini telah banyak dilakukan oleh para sarjana diluar sana. Hadih Maja merupakan produk pemikiran yang paling otentik yakni nasihat para tetua Aceh.
Namun bukan itu yang menjadi objek pembahasan oleh penulis, melainkan akan dilihat bagaimana proses berpikir (seumike) yang terjadi di kalangan orang Aceh. Ada beberapa kata yang sering digunakan dalam kehidupan masyarakat Aceh, diantaranya; bangai (bodoh), carong (pintar), heyeu (hebat), ceumarot (memaki), teumenak (mengujat), reuboh (rebus), dll.
Istilah-istilah tersebut dicantumkan berdasarkan pengalaman penulis dalam kehidupan sehari-harinya dulu yang masing-masing istilah mengandung maksud tersendiri. Seperti contoh dikatakan oleh penulis istilah reuboh (rebus) yang mana istilah tersebut ditujukan kepada seorang yang mendidih (marah) ketika suatu kelompok temannya mengatai ia dengan bermacam-macam olokan. Namun perlu diingat dalam hal ini olokan jarang menyentuh 2 hal yakni agama dan keluarga, dengan kata lain tidak boleh masuk ke ruang pribadi dan keluarga inti. Dalam hal ini pula sang objek dan subjek akan mencari aliansi dalam pola reuboh ini. Oleh karena itu jika tidak ingin direuboh maka upaya membayar makan dan minum menjadi solusinya. Hal itu pula yang menjadi tradisi orang Aceh ketika sekumpulan orang makan dan minum bersama, maka yang membayar hanya satu orang saja. Hal-hal demikianlah yang menunjukkan bagaimana proses relasi perkauman muncul dalam tradisi sosial masyarakat Aceh. [Hal. 843-844]
Paparan diatas menjelaskan bahwa kontruksi berpikir orang Aceh mengikut wilayah dan status sosial, ini bertujuan untuk saling berkonflik atau mencari aliansi sebanyak mungkin. Namun untuk mempersatukan masyarakat Aceh, maka ritual keagamaan dan sosial kebudayaan kerap digunakan. Demikianlah gambaran singkat mengenai pola pikir kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Pola pikir tersebut diatas dibangun atas tiga fondasi dasar yaitu alam, agama dan jiwa.
Alam bermaksud mengendali tingkah laku masyarakat Aceh, sering diungkapkan dengan istilah hana roh (tidak ada ruh). Hana roh adalah pemahaman yang muncul, jika dilakukan melawan alam, jadi sesuatu dilakukan karena mengikuti keinginan alam tanpa harus bertanya apakah itu masuk akal atau tidak.
Kedua, pola pikir yang didasarkan pada jiwa yang sering diistilahkan dengan hana get (tidak baik). Pola ini mengandaikan bahwa sesuatu perbuatan dilakukan berdasarkan pada ilmu-ilmu para bijaksanawan. Konsep berpikir ini juga ada pada ureung tuha di aceh, dimana mereka sering menegur dan menasehati dengan falsafah hana get/hana jroh. Konsep yang dibangun disini adalah relasi dengan keluarga, kawom, dan masyarakat. Misalnya yang tidak menghadiri gotong royong kampung maka akan dianggap hana get dan akan mendapatkan hukuman sosial di dalam masyarakat.
Terkahir, aspek ketiga yaitu agama yang diistilahkan dengan hanjeut (tidak boleh). Artinya setiap perbuatan tidak boleh berlawanan dengan agama.
Penulis mengatakan bahwa ketiga aspek tersebut diatas tampak telah hilang dalam masyarakat Aceh. Jika benar demikian akan berakibat pada struktur sosial yang akan menjadi rapuh ketika alam-jiwa-agama tidak lagi menjadi dasar berpikir masyarakat Aceh.
Untuk itu ketiga aspek diatas haruslah timang (selaras) agar bisa dijadikan kompas dalam kehidupan masyarakat Aceh. Jika konsep peutimang telah terwujud, dapat dikatakan kehidupan orang Aceh sudah lurus atau diistilahkan dengan Salam atau Dar al-Salam.
Harus diakui tulisan ini seperti membuka lembaran lama yang selalu tersimpan tentang pola pikir orang aceh.
Selamat @eumenes.
Sajian yang disuguhkan sangat luar biasa
Terima kasih banyak bg @lamkote