Saya dan teman-teman dilahirkan di kampung. Kami tumbuh bersama segala jenis ternak yang dipelihara orangtua kami; seperti kerbau, lembu, kambing, itik dan ayam.
Pada saat konflik Aceh-Jakarta, beberapa teman telah duluan masuk TNI, beberapa teman lagi masuk polisi [berdinas di kesatuan Brigade Mobil/petempur], beberapa lainnya naik ke gunung masuk tentara GAM.
Mereka tergolong orang-orang paling berani dalam setiap pertempuran, meski antara kesatuan teman di TNI dan Brimob tidak pernah berhadap-hadapan langsung dengan teman-teman di pasukan GAM.
Ketika perang kerakhir—Pascaperjanjian Damai Helsinki—semua teman saya, baik dari TNI, Brimob dan GAM selamat. Di hari-hari yang agung menjelang Idul Fitri, mereka pulang ke kampung. Saat-saat seperti ini, saya dan mereka bersatu lagi bagai dulu kala.
Namun, hari-hari di kampung, saya melihat ada sedikit keanehan pada mereka. Meski mereka petempur-petempur paling nekat dalam perang, tapi tiap dikejar ayam beranak, lari terbirit-birit.
Rupanya antara “keberanian dalam perang” dan “lari lintang-pukang saat dikejar ayam beranak” adalah dua hal yang berbeda; tak ada kaitan [meski dua-duanya menyangkut persoalan keberanian]; tak bisa dicari jalur konfluensi dan korelasi.
Ternyata, soal keberanian dalam perang, itu adalah sifat warisan indatu (nenek moyang); sedangkan ketakutan terhadap kejaran ayam beranak adalah sifat bawaan kami yang dibentuk sejak masa kanak-kanak, di mana setiap kami pasti menyimpan memori tentang bagaimana perihnya kulit betis jika sempat dipatuk ayam beranak.
ini hadiah dari saya 100%, very nice post kawan, saya tunggu hadiah dari mu untuk saya @bigbos99 semoga aceh selalu damai,tidak ada lagi peperangan antara satu NKRI
Cara-cara seperti itu tidak di anjurkan dalam berusaha mendapatkan upvote. Cari informasi menyangkut hal ini agar kita bisa menjaga sikap. Semoga sukses untukmu kawan. Terima kasih
terimakasih atas sarannya kawan, informasi dari mu sangat lah berharga bagi saya untuk memperbaiki diri saya ,