Tulisan ini merekam salah satu persepsi tentang Steemit. Masing-masing orang tentu boleh berbeda pendapat. Tapi rekaman pendapat ini hanya bidang tulis-menulis dan sastra. Sebab Steemit banyak bidang kreasi, mulai dari sastra, tulis-menulis hingga fotografi dan video.
Salah satu acara diskusi Steemit di Jakarta
"Saya tidak cocok di Steemit." Kata-kata itu meluncur dari seorang sastrawan senior, Minggu malam, 1 April 2018. Di sebuah kafe yang pengunjungnya selalu ramai, saya bersama sastrawan itu dan dua sastrawan lain, sedang melakukan rapat untuk menggelar sebuah kegiatan sastra bertaraf nasional pada Mei 2008 dan Juli 2018. Biasanya, di jeda rapat atau selesai rapat biasa saya gunakan waktu untuk ngobrol tentang Steemit dan #promo-steem
Sastrawan senior kelahiran tahun 1950-an itu diam sejenak, lalu melanjutkan. "Banyak karya di Steemit di bawah standar," ujarnya. Ia jengah melihat fenomena itu. Sejumlah karya, terutama sastra, menurut dia, jauh di bawah standar estetika. "Ini mencemaskan," ujarnya sambil menyebut beberapa puisi milik Steemian yang pernah dia baca. Ia ragu bisa mendorong pengguna Steemit untuk memilih karya-karya bagus.
Celakanya, kritik seperti haram di Steemit. "Orang seperti enggan memberi masukan atau kritik, tapi lebih cenderung memuji," kata dia lagi. "Itu sayang sekali sebetulnya. Harusnya Steemit bisa menjadi tempat belajar," ujarnya. Jangan seperti di Facebook -- apa saja dilike ditambahi komentar keren, cakep, dan seterusnya.
Ia mengkhawatirkan Steemit tidak berhasil memancing munculnya karya-karya bagus. Sebab, tidak ada tradisi saling mengkritik dan memberi masukan. Yang kental adalah tradisi memuji. Ini tidak sehat karena orang bisa mabuk pujian sehingga membuat ia tidak berkembang
Tapi ia mengaku jarang posting tulisan di Steemit dalam pekan-pekan terakhir ini bukan karena itu. "Saya lagi sibuk banget. Ada banyak pekerjaan kurasi sastra harus saya selesaikan."
Kegiatan #promo-steem di Jakarta
Saya tahu, sastrawan senior ini memang super sibuk. Selain mengkurasi karya-karya sastra untuk sejumlah kegiatan nasional dan internasional, ia tengah sibuk menjadi juri penghargaan buku sastra tingkat nasional. "Ada beberapa dus besar buku harus saya baca dan nilai," ujarnya suatu kali.
Selain itu, ia juga mengajar mata kuliah creative writing di sebuah universitas ternama. "Saya lebih tertarik pada kualitas," ujarnya. Untuk itulah untuk ujian mata kuliahnya di kampus ia tidak memberikan ujian tertulis, tapi ujian membuat karya. "Ada yang membuat novel, kumpulan cerpen, dan antologi puisi. Karya-karya bagus kemudian saya teruskan ke penerbit dan diterbitkan," tuturnya.
Harusnya, menurut dia, para pengguna Steemit juga membebaskan diri untuk mengembangkan daya kritis. Toh kritik bukan ancaman. Justru kritik bisa membangun iklim yang sehat. Bisa melecut kreativitas. Dengan demikian Steemit akan punya banyak materi berkualitas. "Kita hanya pilih dan like secara maksimal karya-karya bagus. Karya tak bagus harus iklas menerima masukan dan kritik agar mereka belajar." Jadi, jangan haram dan marah kalau ada yang mengkritik atau memberi komentar yang membangun.
Saya tentu saja setuju 100 persen dengan ucapan sarjana sastra Inggris lulusan Yogyakarta yang juga pemegang gelar master teknologi informasi ini. Tapi barangkali pikiran-pikiran semacam itu bisa dipraktekkan pelan-pelan di Steemit. Ya harus pelan-pelan jangan sampai ada yang kaget.
Sayangnya, ia tidak menyimak diskusi yang terjadi di grup-grup Steemit. Saya lalu bilang, saya juga mendorong agar kualitas karya di depan. "Kualitas harus menjadi patokan utama. Makanya saya tetap konsen tidak mempromosikan Steemit dengan iming-iming dolar. Tapi promosokan Steemit sebagai ruang kreatif yang dibandingkan medsos lainnya ini ada reward walaupun kecil," kata saya.
Seorang teman penyair lain, yang juga Steemian menimpali. "Saya sepakat dengan apa yang Pak Mus," ujarnya. Ia menyimak dengan seksama diskusi di grup-grup Steemit namun enggan berkomentar karena dikhawatirkan salah paham. Dari pada berdebat tidak produktif mendingan menulis atau membaca. Apalagi pekerjaan kita kan banyak.
Seorang teman lain, yang salah seorang pengurus sebuah komunitas sastra terbesar di Indonesia, malam itu dia saja. Ia hanya menjadi pendengar yang baik. Ketika saya tanya, apakah ia sudah bikin akun Steemit -- sejak saya promosikan kepada dia tiga bulan lalu. Ia menjawab: "Belum Pak." Lalu saya timpali, "Bikinlah akun. Anda bisa menulis dalam bahasa Inggris dan membuat jejaring ke Steemian luar. Jangan bermain di dalam."
Materi #promo-steem
Saya terus mendorong teman-teman bikin akun. Bukan untuk mencari uang, tapi untuk mewarnai Steemit dengan konten berkualitas. Dapat uang adalah bonus. Toh, mereka semua bukan pengangguran, tapi para pekerja Ibu Kota dengan pendapatan cukup untuk hidupnya. Selain itu, mereka adalah para penulis yang kerap mempublikasikan karyanya di media massa dengan honor yang layak.
Jadi tak perlu bergantung pada reward Steemit. "Steemit hanya untuk kegembiraan. Sama seperti kita menulis status, memposting puisi atau foto di media sosial lainnya."
MI | 15 April 2018.
Semoga saya tidak keliru menafsir sastrawan senior yang dimaksud dalam tulisan ini. Hehee....
Saya baru belajar menulis dan hanya steemit menghargai orang belajar, itu yang membuat saya suka sekali dengan medsos ini, pertanyaan kembali apakah orang yang masih bodoh ini tidak punya tempat??? Kesempatan belajar, tapi steemit menyediakan ruang itu bagi orang orang seperti saya, ini merupakan bentuk dorongan spirite dari steemit untuk lebih semangat lagi belajar.... I Like steemit
Steemit sangat bagus sebagai ruang belajar. Agar belajat maksimal, harus ada tradisi kritik juga. Banyak teman yang dulu jarang menulis artikel di Steemit jadi menulis artikel. Itu bagus. Masukan dari teman sastrawan itu adalah: jangan haramkan kritik. Sebab kritik akan membut seseorang terpacu untuk lebih baik lagi.
coba baca bagian ini di tulisan di atas:
Jelas kan.