Masih ingat ketika orang Jakarta protes karena harga kereta api bandara (Airport Railink Service) dengan patokan harga sebesar Rp. 70 ribu dianggap mahal? Pada masa uji coba dari 26 Desember 2017 - 1 Januari 2018 harganya sempat dibanting Rp. 30 ribu. Tapi setelah itu jadi Rp. 70 ribu. Wow banget bagi orang Jakartah.
Saat itu, publik Sumatera Utara mengatakan penduduk Jakarta terlalu banyak protes dan manja. Sebab harga tiket Airport Railink di Medan ke Kuala Namu Rp. 100 ribu, dan tak ada orang Medan atau Aceh protes. Sebenarnya saya termasuk protes, karena dengan jarak kurang 40 km harganya termasuk mahal. Saat itu sang penjual tiket katakan, pembangunan dan manajemen Railink Medan adalah swasta... Benarkah? Nanti saya akan tanya ke menteri Pak Jokowi.
Hari ini, 12 Mei saya naik kereta api ini kedua kali. Yang membuat berbeda dengan Railink Medan, misalnya, disini tak ada kutip uang kertas. Semua proses pembayaran pake mesin seperti Brilink, gesek dan crottt.... Keluar tiketnya. Jadi tak mungkin ada tukang karcis ilegal atau pasangan ilegal yang bisa menjual tiket dengan harga melambung, atau minta uang jasa. Biasa, beli rokok atau rok bini di Padekok, Tanah Gayo.
Ada hal lain lagi, bahwa ternyata harga tiket di hari Sabtu-Minggu malah diterjang 50 persen, jadi Rp. 35 ribu. Saya hampir tak percaya karena itu berlawanan dengan hukum Archimedez hiburan. Kalau kita nonton di bioskop hari Sabtu-Minggu atau weekend, harganya pasti lebih mahal dibandingkan hari ngerjain karyawan atau weekday. Ini kok lebih murah? Hewran dech.
Satu hal lagi, meskipun sudah dipiting harga tiket, penumpang alias awak sewa juga tak banyak. Saya masuk di dalam kereta yang masih wangi dan perawan ini - sebab tak ada bekas-bekas najis di dinding kereta atau coretan "Anis Loves Sina", seperti kereta api dari Tanah Abang ke Manggarai. Kereta ini begitu elegannya, dengan harga lebih murah dibandingkan naik Damri dari Gambir.
Tentulah dengan lengangnya penumpang, membuat saya bisa menulis untuk Steemit ini.
Satu hal yang membuat saya tak nyaman, tak jadi pulak tulisan satu bab lagi di hotel, yaitu bab penutup buku Itsbat Nikah. Sehingga saya merasa nelangsa dan sedikit kurang bahagia. Padahal hari ini saya puasa syakban agar emosi bisa terjaga, dan gairah tak kemana-mana hingga fokus menulis.
Ya sutralah, dalam pesawat semoga saya bisa menulis. Atau azabnya, saya tak bisa menulis dalam beberapa hari ke depan, karena kesibukan menyambut Ramadan. Kesibukan kultural atau ghairu mahdah..
Marhaban ya Ramadan....
Happy Ramadhan
Happy Ramadhan too.
Kebiasaan..
Travel by your own.
Dangerous, dont try at home!