Halo sahabat steemenians. Salam sehat dan bahagia dalam iman. Aamiin.
Ada yang mengusik pagi ini.
Sebuah mobil beban berat ‘bego’ menjadi pusat perhatian pengguna jalan, khususnya bagi anak-anak laki-laki. Mereka selalu menyempatkan melihat dari jarak dekat, bahkan ingin memegangnya. Maklum, rasa ingin tahu anak-anak sangat besar.
Bertengger di pinggir jalan, tepatnya di depan sekolah MI/SD dan TK menjadi terlihat berbeda. Bego tersebut akan beraksi di saat jam kerja yang otomatis bersamaan dengan jam belajar anak-anak.
Suara ‘merdu’ si bego cukup membuat bu guru bekerja exstra mengeluarkan suara yang keras untuk mengalahkan suara si bego. Murid-muridpun sedikit tidak konsen menerima pelajaran. Bisa dibayangkan bagaimana kerja keras bu guru demi menunaikan tugasnya. Semangat bu guru!
Waktu jam pelajaran usai dan berganti jam istirahat, mulailah dengan pemandangan yang berbeda. Tidak ada anak yang bermain bola di lapangan, bermain badminton, atau sekedar berlari kejar-kejaran. Kenapa?
Program si bego bukan hanya mengeruk tanah untuk membuat saluran air (talud) saja, tetapi juga melakukan program pelebaran jalan. Itu artinya, halaman sekolah yang berfungsi sebagai lapangan olah raga dan upacara bendera setiap senin tidak bisa berfungsi lagi.
Karena ‘diminta’ untuk program si ‘bego’. Pihak sekolah jelas tidak mungkin menolak. Alih-alih itu program untuk kepentingan umum. Agar lalu lintas lancar dan air tidak tergenang bila hujan tiba.
Mendengarnya cukup menyenangkan bukan? Program pembangunan untuk pengguna jalan (karena tidak dilewati kereta api).
Anak-anak pun menanggapi dengan berbagai sikap. Ada yang cuek, ada yang senang, ada yang sedih.
Anak yang cuek berarti tidak peduli, bisa bermain atau tidak sama saja. Ada yang merasa senang karena tidak dan senam dan upacara bendera, alasannya kepanasan. Kalau anak yang sedih biasanya, karena yang rajin menggunakan lapangan itu.
Anak-anak hanya berpikir dari sudut pandang mereka yang sederhana. Apapun keadaan di sekolah mereka yang ada hanya rasa senang saja. Belajar, bermain, dan bertemu dengan teman-teman.
Sebuah kantin sekolah juga ikut berpartisipasi alias ikut dirobohkan. Posisi dekat dengan jalan. Entah mau dibangun di mana lagi, kurang jelas jugs.
Efek ekonomis dari program si bego juga kentara pada pedagang makanan keliling. Para penjual yang biasa menempati di dekat pagar, kini harus rela berada di seberang jalan. Para siswa juga agak kesulitan kalau ingin membeli makanan. Kemungkinan besar pendapatannya juga mengalami penurunan.
Salah seorang guru membagikan statusnya yang berbunyi.
“Ah, sekolahku nggak punya lapangan. Mau olah raga di mana anak-anakku, ya?
Sebuah pertanyaan retoris sebagai bentuk tanggung jawab guru kepada anak didiknya. Memang semenjak operasi si bego, praktis kegiatan fisik dihentikan.
Entahlah, apakah sudah ada solusi atau belum setelah si bego rehat. Pastinya dalam rangka ‘memakmurkan’ warga memang (harus) ada yang disisihkan kepentingannya. Setuju atau tidak setuju ya begitulah adanya.
Kata harmoni ternyata bermakna pada sebuah kesesuaian atau keselarasan. Jika dalam lagu harmoni memadukan antara irama dan geraknya. Keduanya berrpadu satu sehingga tercipta karya yang indah dinikmati.
Apakah program bego juga merupakan harmonisasi kehidupan? Jawabannya kembali ke diri kita masing-masing.
Tidak jauh berbeda dengan jalan ‘raya’ di tengah kampung yang berfungsi sebagai jalan tikus. Jalan yang semula hanya jalan tanah berpasir licin dan berlumpur bila hujan. Akhirnya mendapat proyek dengan diaspal ‘juruh’. Aspal yang dioles sedikit asal menempel.
Adanya pergantian musim menyebabkan jalan cepat rusak dan ada truk bermuatan yang juga ikut lewat.
Maklum jalan ‘raya’nya hanya di tengah kampung jadi tidak perlu aspal yang bagus berkwalitas seperti jalan utama propinsi. Rugi mungkin, ya? Padahal Masalah iuran bulanan selalu diusahakan tertib oleh masyarakt. Iuran apa saja, misal iuran bangunan rumah, iuran penerangan, atau kesehatan. Ah, ini juga tidak berefek!!
Syukuri sajalah! Jalan aspal ‘juruh’ tinggal kenangan. Kini lubangnya sering menjadi peringatan bagi yang lewat. Agar lebih berhati-hati. Biar selamat dan tidak terjatuh mencium bekas aspal juruh (aspalnya sudah hilang).
Ini bukan keluhan, tetapi inilah paparan hidup di dunia. Bahwa harmoni hidup tidak bisa didapat dengan mudah.
Kita yang bermasyarakat di mana saja akan berusaha menjaga harmoni dengan lingkungan. Cukuplah dengan membina hubungan baik dengan tetangga terdekat. Karena merekalah yang kelak akan menolong membawa raga ini menuju ke rumah peristirahatan terakhir. Tanpa dimintapun dengan keridloan akan dilakukan dengan baik.
Membangun harmoni dengan tetangga memberi kenikmatan batin tersendiri, bersyukur masih bisa bermanfaat untuk orang lain. Bahwa tidak ada yang sia-sia dalam hidup ini. Karena Yang Maha Kuasa menjadikan manusia sebagai makhluk yang sebaik-baik penciptaan.
Dengan akal yang dimiliki manusia diberi dua jalan. Kesesuaian hidup menuju alam abadi mampu membentuk sikap tangguh untuk terus bertahan di tengah perilaku yang mengatas namakan harmoni hidup!
Kalasan. 17 Nov. 2018.