Setelah pertemuan itu, komunikasi aku dan dia semakin rutin. Terlebih topik budaya membawa kami semakin dekat. Pertemuan komuintas pun sering dilakukan, termasuk membangun jejaring dengan komunitas lain.
Dia begitu bersemangat menjalani komunitas yang sedang kujalani ini, hampir setiap pertemuan dia hadir. Begitu juga bila ada undangan dari komunitas lain, dia selalu hadir bila kuminta untuk mewakili komunitas kami.
Aku senang mempunyai anggota komunitas yang begitu loyal sepertinya, entah karena dia punya maksud lain atau memang tulus menjalaninya, tapi aku tetap bersikap profesional dan tidak melibatkan perasaan terhadapnya. Namun di antara anggota komunitas lainnya, dialah yang selalu ada dan siap menemaniku.
Ternyata sikapnya itu menimbulkan kecurigaan dari anggota lain, terlebih teman dekatnya yang melihat begitu banyak perubahan sikap pada dirinya. Meskipun aku menyadarinya, tapi kuanggap itu ialah sebuah bentuk profesionalitas sebagai anggota komunitas.
Hingga pada suatu hari, tidak ada satu pun dari anggota kelompok yang bisa hadir kecuali dia. Padahal, kami sudah menyepakati bahwa akan ada pertemuan komunitas di akhir pekan membahas tentang strategi promosi buku yang kubuat. Ternyata satu persatu, anggota kelompok meminta izin tidak bisa hadir karena satu dan lain hal. Hanya dia satu-satunya yang bisa hadir di hari libur tersebut.
Jadilah kami bertemu berdua di sebuah warung kopi seputaran Kota Banda Aceh. Di sini kami membuat strategi promosi melalui media sosial. Rupanya dia mempunyai skil informasi teknologi (IT) yang lumayan bagus, sehingga pekerjaan kami berjalan mulus.
Mulai dari pagi kami bersama, hingga malam hari. Di temani beberapa cangkir kopi, hujan lebat dan reda bergantian, hingga melewati beberapa kali waktu salat. Ketika masuk waktu salat, kami bergantian salat dan menjaga barang-barang kami seperti tas, smartphone dan laptop. Di depan perangkat elektronik itu, kebersamaan kami begitu asyik, hingga waktu pun terasa berjalan begitu cepat sampai senja pun menjemput.
Ketika hendak membayar makanan yang kami makan dari pagi hingga senja, dia pun segera mengeluarkan uang lembaran seratus ribu untuk membayarnya.
"Lho, kok kamu yang bayar? Aku sudah siapkan duit untuk semua ini karena kamu sudah membantu aku mempromosikan bukuku melalui media sosial," kataku padanya.
"Simpan saja uangnya, nanti bisa digunakan buat yang lain. Lagian aku sangat senang bisa bersamamu seharian," ujarnya dengan senyuman manis hingga terlihat kedua lesung pipinya.
"Hmm, kenapa dia bersikap seperti itu?" Tapi, sekilas senyumannya itu meluluhkan hatiku, hingga aku betah berlama-lama bersamanya.
Dia pun membereskan barang-barangnya pertanda kami akan beranjak pergi dari tempat itu. Kebetulan saat itu waktu magrib sudah tiba, kami pun bertolak ke Masjid Oman, Lampriet untuk melaksanakan salat maghrib berjamaah.
Seusai salat, dia mengajakku melihat Aceh Clothing Fest 2015 yang letaknya berada di seberang masjid. Rupanya kami enggan mengakhiri pertemuan ini, hingga acara apa pun sepertinya menyenangkan bagi kami berdua.
Kami menyaksikan beberapa pertunjukan dari grub band Aceh dan ikut mini diskusi tentang perkembangan usaha anak muda di Aceh. Pada kesempatan itu, dia bertanya yang kemudian panitia acara menghadiahkannya sebuah baju kaos dan beberapa stiker.
Setelah itu, kami menuju tenda unit transfusi darah yang petugasnya rata-rata teman-temanku. Mereka menanyakan apakah dia adalah pacarku? Begitu juga dengan beberapa teman yang kutemui di acara tersebut menanyakan hal yang sama. Kami berdua tersenyum dan mengatakan bahwa kami hanya teman.
Menyenangkan bila teman terbaik adalah pasangan kita kelak di kemudian hari
"Teman, apa teman?," Teman-temanku menggoda kami. Aku hanya bisa bilang, dia temanku.
Oia, ada yang membuatku begitu terharu dengannya. Dia mau mendonorkan darahnya saat aku minta menjadi donor darah sukarela. Padahal, seharian penuh dia beraktivitas dan berada di depan laptop. Apalagi katanya dia semalam bergadang, tapi anehnya dia lulus tes kelayakan donor dan langsung mendonorkan darahnya.
Padahal, dia tidak tahu untuk siapa darahnya nanti akan digunakan. Aku pun menemaninya sampai proses donor darah selesai.
Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB, itu berarti kebersamaan kami harus diakhiri. Saat perjalanan pulang melewati jalan tortoar menuju Masjid Oman tempat kenderaan kami diparkitkan, dia memberiku baju kaos yang didapatnya dari hadiah panitia.
Perasaanku bercampur aduk antara senang dan penasaran, apa maksud semua ini? Kenapa dia begitu baik kepadaku?
"Aku sangat senang hari ini. Nanti, bila aku sudah punya istri dan anak, hari ini menjadi kisah yang menarik untuk diceritakan kepada meraka," ujarnya kepadaku.
Aku tertegun mendengarnya. "Aku juga senang," kataku. Kami pun saling melemparkan senyuman dan segera mengambil motor masing-masing mengakhiri pertemuan yang menyenangkan pada hari itu.