Beberapa menit sebelum proses ijab qabul antara waliku dengan laki-laki yang menjadi suamiku, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Samadua, ND. Ihsan Sani menyampaikan khutbah nikah.
Di depan para tamu undangan ia menyampaikan beberapa pesan dan nasihat untuk kami berdua. Sebagai seorang yang beristrikan penulis, suamiku diingatkan agar memahami dan memaklumi profesiku.
"Di biodata ini tertulis pekerjaan mempelai wanita adalah seorang penulis. Sebagai suami haruslah paham tentang profesi yang membutuhkan konsentrasi tinggi itu. Mungkin karena dia sedang asyik menulis, lupa untuk melayani suami sehingga memunculkan konflik. Jadi, sebagai seorang suami, harus memakluminya dan lakukanlah komumikasi secara baik dengannya," ujar kepala KUA saat khutbah.
Aku terharu mendengar pesan itu, pesan yang tepat sasaran untuk khutbah pernikahanku. Dalam pernikahan, tidak hanya istri yang harus memaklumi suami, tapi suami juga harus empati terhadap istri. Apalagi sebagai penulis yang pikiran dan idenya disalurkan melalui tulisan, butuh konsentrasi tinggi agar ia bisa menghasilkan tulisan yang merupakan sumber penghasilan.
Walau terlihat gampang bagi sebagian orang, tapi profesiku ini juga membutuhkan waktu khusus. Sama halnya dengan perempuan yang bekerja di kantor, sekolah, pemerintahan, rumah sakit, dan pelayanan publik lainnya. Bedanya mereka keluar rumah menuju tempat kerja, sedangkan aku bekerja dengan laptop dan HP untuk membuat tulisan. Bahkan kamarku nanti menjadi kantorku yang dipenuhi dengan buku, majalah, surat kabar, dan lembaran tulisan-tulisan.
Aku butuh suami yang mengerti dengan kondisiku itu. Dan syukur Alhamdulillah, khutbah nikah yang disampaikan Kepala KUA Samadua itu telah mengingatkan kembali lelaki pilihanku.
Selama proses taaruf, lelaki pilihanku itu telah menunjukkan sikap empatinya terhadap profesiku. Bahkan dia mendukung penuh hobi yang menjadi profesiku itu. Tulisan lomba blog yang kumenangkan, tidak lain berkat motivasi dan dukungan penuh darinya. Begitu juga dengan tulisan-tulisanku yang lainnya. Dia sengaja menganggarkan pengahasilannya setiap bulan untuk belanja buku untukku.
Bila kebanyakan laki-laki mengajak perempuannya belanja baju atau barang lainnya, lelakiku ini malah mengajakku ke toko buku. Inilah hari yang kunanti-nanti dalam sebulan itu, karena dia akan membebaskanku memilih buku yang kuinginkan. Ini salah satu bukti dia sangat mendukung karirku di dalam dunia kepunulisan dan buku adalah asupan nutrisi bagi otakku agar aku bisa menghasilkan tulisan yang baik. Bukankah penulis hebat ialah pembaca yang lahap? Jadi, setiap bulan aku harus membaca empat sampai enam buku agar bisa menjadi penulis yang hebat.
Kepala KUA juga menyebutkan bahwa aku adalah tamatan keperawatan yang bila nanti aku menekuni profesiku itu, suamiku harus mau ditinggal demi merawat pasien-pasienku. Ia berpesan kepada suamiku agar memaklumi bila aku harus memilih bersama pasienku di malam hari dari pada bersamanya. Itulah risiko menjadi seorang perawat.
Sepertinya suamiku juga paham itu, toh justru salah satu kriteria perempuan idamannnya seorang lulusan keperawatan. Makanya dia mengincarku dan memperistri diriku. Namun, dia tidak menuntutku untuk harus bekerja sebagai seorang perawat. Semua pilihan diserahkan kepadaku. Bekerja sebagai penulis atau perawat, itu adalah pilihanku yang selalu didukungnya.
Oleh karena itulah, aku memantapkan hati menerimanya sebagai suami. Walau banyak lelaki lain sebelumnya yang pernah mendekatiku, tapi dialah pilihanku yang insyaallah pilihan utuk selamanya, dunia dan akhirat. Amin.