Abu Teuming pada Tsunami Aceh

in #ksi6 years ago

Tsunami yang terjadi pada 2004 sangat banyak menyisakan kesedihan dan cerita bagi banyak orang. Terutama masyarakat Aceh.

Saya pribadi (Abu Teuming) punya cerita saat gempa dan tsunami Aceh. Ketika itu saya masih kelas 3 MTsN di Kecamatan Manyak Payed, Kabupaten Aceh Tamiang. Umurnya sekitar 15 tahun. Tanggal 26 Desember 2004, bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai anak kampong, yang hidup di pedalaman Aceh Tamiang, saya gunakan waktu libur sekolah untuk bekerja demi biaya sekolah dan jajan harian.

Konon di Kampong Meurandeh banyak pabrik arang yang telah ada sejak ratusan tahun silam. Arang itu diekspor ke luar negeri untuk berbagai kebutuhan.

Mayoritas masyarakat setempat bermata pencaharian sebagai produsen arang dari pohon bakau.

Saya juga memanfaatkan waktu libur untuk bekerja di pabrik arang, orang setempat menyebutnya "dapur arang". Pekerjaannya memasukkan kayu bakau ke dalam dapur, agar dibakar hingga jadi arang. Juga mengeluarkan arang dari tempat pembakaran. Persis seperti orang membakar bata di pabrik bata/dapur bata.

Pagi-pagi sekitar pukul 07.30 Wib, saya keluar dari kediaman menuju dapur arang yang berada di belakang rumah. Tujuannya untuk mengeluarkan arang dari dalam dapur. Kebetulan hari itu saya bekerja di dapur toke, namnya Abubakar. Kami kerap menyapa Wak Abu.

Sebelum pukul 08.00 Wib, saya dan Wak Abu, serta beberapa rekan kerja lainnya sudah berkumpul di dapur milik Wak Abu. Sesaat kami masih ngobrol sambil melihat boat/sampan warga yang berlalulalang di sungai untuk mencari kayu bakau di tempat jauh.

Lebih kurang pukul 08.00 Wib, bumi mulai berguncang. Kami yang tadi berdiri mulai jongkok, sebab tak kuasa menahan ayunan bumi yang terlalu kuat. Dan membuat kepala pusing. Dari jarak 20 meter, saya melihat pekerja di dapur lain sedang mencari tempat aman dari bangunan kayu.

Gempa kali ini memang sangat dahsyat, berkuatan 9.2 SR. Tidak seperti gempa biasanya yang berkekuatan di bawah 6 SR. Gempa pun berdurasi agak sedikit lama.

Setelah gempa berhenti, kami mulai saling cerita bahwa gempanya kuat sekali. Tapi tidak ada bangunan yang roboh. Ntah karena bangunan di Kampong Meurandeh mayoritasnya berbahan kayu.

Tak lama itu, dari arah barat Aceh terdengar suara ledakan dahsyat. Kami menghitungnya, ada kali ledakan yang terdengar. Ledakan pertama dan kedua durasinya agak berdekatan. Sedangkan ledakan ketiga terjadi sekitar 1 menit setelah ledakan kedua. Ketiga dentuman tersebut terdengar sama kerasnya.

Kembali kami bercerita tentang suara yang baru saja membuat kami heran. Kami saling bertanya: suara apa itu? Di daerah mana suaranya?

Tidak ada seorang pun dari kami yang mampu memberikan jawaban. Memang ketika itu Aceh masih konflik. Kontak senjata antara GAM-TNI sudah sering terjadi kampong kami (Meurandeh). Bahkan saya pernah mengintip dari lobang dinding rumah bagaimana GAM dan TNI saling tembak. Kala itu saya dan pihak yang berperang hanya berjarak 10 meter. Tetapi saya dan keluarga bertiarap di dalam rumah.

Wak Abu merasa aneh dengan tiga ledakan itu. Tidak biasanya terdengar suara sedahsyat itu. Setelah memastikan bukan suara bom atau kontak senjata, kami pun mulai bekerja. Karena kalau benar kontak senjata, kami harus kembali ke rumah untuk berlindung.

Di depan dapur Wak Abu ada sungai yang melintang panjang hingga ke laut, tepatnya Selat Malaka. Pagi itu air sungai tidak penuh, dan juga tidak sedikit. Namun air dalam keadaan surut.

Kami terus bekerja mengeluarkan arang dari dapur. Sekitar 10 menit bekerja, saya berkata pada Wak Abu: apa tidak turunkan boat? Airnya sudah terlalu banyak surut?

Wak Abu kaget melihat boatnya yang tersangkut di pinggir sungai, sebab airnya sudah surut hingga dasar sungai.

"Ya sudahlah, nanti saja dirunkan boatnya", ucap Wak Abu dengan rasa heran.

Kami kembali bekerja mengeluarkan arang. 10 menit kemudian, saya melihat lagi ke arah sungai. Rasa heran menyelimuti fikiran saya. Dalam hati terlintas: kok air sungai pasang lagi? Boat yang tadinya tersangkut darat mulai terapung di atas air. Tekanan air pasang tidak deras. Dan hanya mengalir santai seperti biasanya.

Saya pun memberitahu pada Wak Abu dan teman kerja. "Wak! Lihatlah, air sungai sudah pasang lagi. Boat tidak lagi tersangkut.

Sekejap Wak Abu dan rekan kerja melihat ke sungai. Dalam keadaan berdiri, Wak Abu berkata: aneh sekali. Sudah dua keanehan terjadi pagi ini.

Kami berhenti bekerja sejenak, sambil minum dan makan kue. Perbincangan tentang pasang surut air sungai mulai membuat kami penasaran. Tidak ada dalam sejarah terjadi pasang surut dua kali dalam waktu dekat, hanya berlangsung 10 menit.

Kami tidak tahu apa makna dari fenomena ini. Dan tidak tahu apa yang terjadi. Kembali kami lanjutkan kerja hingga puluk 12.00 Wib. Setelah selesai kerja, barulah kami dapat kabar bahwa sudah terjadi musibah di Banda Aceh. Orang-orang bercerita, air laut naik ke darat. Tidak ada yang tau pasti bahwa air laut itu bernama stunami. Sebab kami belum pernah mendengar istilah tsunami.

Saya pun kembali ke rumah. Dan melihat hampir semua televisi menayangkan berita gempa dan stunami. Lambat laun terkuak bahwa suara ledakan tiga kali adalah patahan lempeng bumi yang terjadi di dasar laut Samudra India.

Saya sendiri merenungkan betapa dahsyatnya suara ledakan itu. Padahal antara Aceh Tamiang dan Banda Aceh berjarak 400 Km. Sekitar 12 jam perjalanan menggunakan kendaraan darat (mobil). Namun suara ledakan terdengar jelas. Subhanallah. Ledakan dahsyat di luar dugaan manusia.

Abu Teuming
Direktur LSM K-Samara