Baru pertama kali saya melihat buku 'Aceh Bersimbah Darah'. Itu pun versi digital. Konon versi cetak sulit ditemukan. Konon bagi pembaca buku ini akan tersayat hatinya, bercucuran air mata sebab tidak kuasa membaca penderitaan korban. Terlebih buku ini dapat menjadi api kemarahan rakyat Aceh atas perlakuan biadab oknum. Apalagi kalau dibaca oleh keluarga korban, tidak mustahil untuk balas dendam.
Pada Bab 5, poin 4 terdapat satu judul "Diganduli batu, lalu dibenam ke Sungai".
Penulis tidak mengoreksi buku 'Aceh Bersimbah Darah', tetapi hanya ingin memperkaya cerita. Kisahnya sama, namun terjadi di tempat berbeda.
Tahun 1999, saat usia saya 10 tahun, dan baru kelas tiga Sekolah Dasar (SD). Di Desa Meurandeh, Kecamatan Manyak Payed, Kabupaten Aceh Tamiang pernah heboh penemuan mayat. Penemuan ini tidak sama seperti berita masa kini.
Seorang nelayan bernama Daud sedang mencari ikan di laut Selat Malaka. Tepatnya di seputaran pantai Raja Muda. Sebuah pantai yang jauh dari Kampong Meurandeh. Namun masih dalam wilayah Kecamatan Manyak Payed.
Ketika itu, Daud dan istrinya sedang menjaring ikan. Di tepi pantai, keduanya melihat sosok mayat, tersangkut di ranting pohon bakau. Segera ia meminta bantuan nelayan lain yang melewati jalur itu.
Bersama warga, ia membawa mayat ke Kampong Meurandeh. Untuk tiba di Meurandeh, mereka butuh waktu 1 jam menggunakan perahu mesin.
Saat tiba di sungai Manyak Payed, warga Meruandeh secara sukarela membantu evakuasi mayat ke balai. Balai yang biasa digunakan untuk pengajian pemuda. Kondisi mayat tidak bisa dikenal. Tubuh telah membekak. Kulit sudah terkelupas. Kedua tangan sudah tidak ada lagi jari. Kulit kepala terkelupas. Hanya celana biru pendek yang melekat di tubuh mayat. Bau busuk menyengat membuat masyarakat sulit menunaikan hak-hak mayat.
Sadisnya, sebuah beton (tembok) terikat dengan kawat di badan mayat. Beton yang memiliki lebar 40 Cm, panjang 60 Cm. Beratnya mencapai 200 Kg lebih.
Masyarakat yang menyaksikan itu merasa sedih. Kuat dugaan, mayat ini sengaja ditenggelamkan dalam air. Beton berbobot 200 Kg berfungsi agar mayat tidak terapung di atas air.
Setelah kawat dibuka, dan beton diasingkan, mayat tidak dikenal itu segera dimandikan. Kebetulan yang memandikan ayah saya (penulis). Sebab ia menjabat imam kampong ketika itu. Pengurus desa memutuskan agar celana itu dipotong sebagiannya, kemudian disimpan sebagai barang bukti. Sebab ketika itu tidak ada warga Meurandeh yang kehilangan keluarganya. Juga bukan dari kampong tetangga.
Tiga hari setelah mayat dikuburkan, satu rombongan keluarga dari Idi, Aceh Timur datang ke Meurandeh. Karena mereka mendengar kabar ada penemuan mayat di desa tersebut.
Sayangnya, mereka tidak bisa menyaksikan lagi jenazah itu. Mereka juga tidak tahu secara pasti bahwa mayat yang ditemukan oleh warga Meurandeh apakah benar kerabatnya. Hanya saja, pengakuan mereka ada keluarga yang hilang.
Kala itu, perangkat desa memperlihatkan sebilah kain yang sengaja disimpan. Seorang ibu tua memperhatikan secara saksama, ia pun mengakui bahwa celana pendek itu yang terakhir digunakan oleh suaminya.
Suara tangis pun mulai terdengar. Raut muka mereka terlihat sedih. Seakan tidak rela kehilangan anggota keluarga.
Beberapa hari berselang, kembali ditemukan mayat di bibir pantai Raja Muda. Kali ini ada dua jenazah yang dievakuasi. Kasusnya sama seperti penemuan mayat pertama. Juga terdapat benda berat di tubuh mayat. Kedua mayat dibawa ke Meurandeh untuk dikebumikan.
Dalam analisis saya, mayat itu adalah sebagian kecil dari korban pembantaian yang terjadi di Arakundo. Menurut cerita, banyak mayat dan orang masih hidup dilemparkan ke sungai Arakundo pada masa konflik Aceh.
Abu Teuming
Direktur K-Samara