Si Man dan Si Alu
Oleh Abu Teuming
Kali ini, saya hendak mengurai kondisi dua anak manusia. Si Man dan si Alu. Keduanya tidak saling kenal, bahkan tinggal berjauhan. Satu di ujung barat Aceh, yang satunya di ujung timur Aceh. Si Man tinggal di Meurandeh, Aceh Tamiang. Dan si Alu tinggal di Banda Aceh.
Bagi warga Banda Aceh dan Aceh Besar, atau yang pernah tinggal di Banda Aceh, atau mahasiswa di kawasan Darussalam, pasti tidak asing dengan nama Alu. Bila ada mahasiswa dua kampu bergengsi itu tidak mengenal si Alu, berarti Anda mahasiswa tahun 2011 ke atas.
Si Alu, pria berambut gondrong, rambutnya keras tak terurus. Sering mondar mandir Darussalam - Lamnyoeng. Ia jarang menggunakan baju. Dan hanya ada celana pendek atau anduk kecil melilit di pinggang. Entah berapa tahun tak pernah dicuci. Kebiasaannya duduk di trotoar jalan seputaran kampus UIN Ar-Raniry dan Unsyiah. Sesekali terlihat duduk di tepi jalan lintas Lamnyoeng. Sayangnya, saya tidak sempat foto bareng dia, sebab kala itu androit belum buming. Sepertinya saya masih gunakan handphone jadul, alias butut.
Namun saya ingin pastikan, si Alu yang saya maksud bukan pria yang kriterianya telah saya sebutkan di atas. Tetapi Si Alu di kawasan lain dalam wilayah Banda Aceh. Namun fikirannya tidak pas atau sakit. Saya tak ingin menyebut mereka gila. Tetapi orang sakit. Bedanya, si Alu yang saya maksud berpenampilan menarik. Usianya muda, tak lebih dari 19 tahun. Pakaiannya bersih, dan kerap diurus oleh keluarga. Bila tidak kenal dirinya, orang akan mengira dia pria berakal sehat lagi ganteng. Wajahnya memang tampan, namun akalnya tidak setampan rupa.
Di kawasan Banda Aceh, ada sebuah kampong yang mengadakan pengajian rutin setiap malam selasa, seusai Magrib. Saya (penulis), kerap hadir dalam majlis ilmu itu. Si Alu, juga tidak pernah absen. Setiap malam selasa, ia hadir mengikuti pengajian bersama.
Seperti jamaah lainnya, ia juga berpenampilan muslim, rapi, juga ada peci di kepala. Padahal para jamaah tau, bahwa si Alu sakit, akalnya tidak bisa berfikir normal. Sekali lagi, saya tidak ingin menyebutnya gila, namun orang sakit.
Setiap pengajian, si Alu selalu maju ke depan, bahkan tepat di meja tempat teungku duduk. Tempat teungku memberi penjelasan isi kitab. Sedangkan para jamaah pengajian penuh di dalam masjid.
Sesekali, si Alu terlihat loncat-loncat ringan di hadapan teungku. Mengangkat lengannya, seolah ingin terbang. Pengajian terus berlanjut, tanpa ada yang peduli dengan aksinya. Kadang ia duduk sendiri di hadapan teungku, untuk mendengar penjelasan agama. Entah dia mengerti apa yang disampaikan, atau tidak sama sekali. Bila suda bosan duduk, ia bangun dan berdiri untuk melakukan salat. Entah salat apa yang ia lakukan. Padahal waktu Magrib sudah lewat, dan waktu Isya pun belum tiba. Para jamaah tidak menghiraukan kelakuannya. Tak ada pula yang marah dan mengusirnya dari masjid. Jamaah tetap fokus pada penjelasan teungku.
Ketika sesi pertanyaan, si Alu bangun, seakan ingin bertanya. Tetapi tidak demikian, ia bersikap seperti biasa, berdiri dan duduk tidak tetap.
Pernah teungku tersenyum melihat gelagat si Alu, dan berkata pada jamaah: ini lah, Allah telah membebaskan kewajiban salat baginya, namun ia tetat rajin ikut pengajian dan salat berjamaah.
Teungku menyambung pesan: nah! Bagaimana dengan kita yang waras? Salat saja berat, atau tidak salat sama sekali.
Baik. Penjelasan si Alu telah selesai. Kini kembali pada kondisi si Man. Seorang pria setengah baya. Rambutnya mulai beruban. Tubuhnya tidak bersih. Baju entah berapa lama tak pernah diganti. Warna pakaian sudah berubah. Kalau mau jujur, lebih jelek dari kain lap yang ada di rumah kita. Baunya sudah bercampur aduk. Dan tidak ada orang yang tahan berlama-lamaan di sampingnya.
Walau kondisinya tidak terus, dan jarang mandi. Tetapi ia punya kebiasaan baik. Setiap melihat tempat berwudhuk Meunasah Meurandeh kotor, ia tidak pernah lupa membersihkannya. Kadang membersihkan meunasah, dan perkarangan meunasah. Mencabut rumput-rumput yang tumbuh hijau, agar bersih. Walau dia tahu, tubuh dan pakaiannya tidak bersih. Padahal masyarakat setempat sering memberi baju padanya, tetapi tidak pernah dipakainya. Ia lebih setia pada baju kusutnya itu.
Setiap masuk waktu salat, ia langsung menghada Allah, dengan gerakan salat super cepat. Persis seperti kita lihat anak-anak belajar salat. Seakan doa-doa dalam salat tidak terbaca. Saya sering memperhatikan si Man, jumlah rakaat salat yang dia kerjakan sulit ditebak. Terkadang salat Dhuhur 2 rakaat. Salat Ashar 3 rakaat. Kadang jumlah rakaatnya sesuai tuntunan agama.
Nah! Renungkan kelakuan dua orang sakit di atas. Saat nikmat akal Allah cabut, tetap rajin hadir di majlis ilmu, walau menuntut ilmu bukan lagi kewajiban baginya.
Walaupun akalnya tidak sehat, namun keduanya rajin salat. Meskipun salatnya tidak benar. Dan Allah pun tidak mengharapkan mereka salat. Karena mereka telah terlepas dari beban hukum. Tidak ada dosa bagi mereka jika melakukan maksiat dan meninggalkan salat.
Bagaimana dengan diri kita, diri Anda? Yang punya akal sehat, daya analisis akal pun terbilang kritis, punya harta dan tenaga, tetapi masih enggan datang ke tempat-tempat pengajian. Bahkan tanpa rasa beban sedikit pun saat meninggalkan salat.
Di mana akal sehat kita? Dan Anda? Dan saya yakin, kita dan Anda tidak mau dinobatkan orang gila. Bahkan tidak boleh disamakan dengan orang gila.
Kini si Alu telah tiada. Semoga surga untuknya. Semoga kita dan Anda tidak menjadi si Alu dan si Man era milenial.
Abu Teuming
Direktur lembaga Keluarga Sakinah Mawaddah dan Rahmah (K-Samara)