Dalam beberapa bulan terakhir ini—sejak pembatasan penjualan premium di Indonesia—antrean panjang sering terlihat di beberapa kota di Indonesia. Pemilik kendaraan sudah antre beberapa jam bahkan sebelum premium masuk ke dalam setiap pom bensin. Di antara barisan antrean itu, juga terdapat beberapa mobil yang relatif mahal dan selayaknya tidak perlu antre untuk mendapatkan premium.
Antrean premium sudah sering terjadi, demikian juga dengan antrean minyak tanah yang masih terjadi sampai sekarang, di zaman modern di mana orang sudah mulai mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Orang berbondong-bondong ke tempat penjualan minyak. Jika tak ada hujan mereka kepanasan, jika hujan mereka kebasahan. Pemandangan yang sangat biasa sejak pemerintah mengurangi subsidi minyak tanah dan mengkonversinya ke gas.
Kita sedih terhadap kenyataan ini. Para pembuat kebijakan tak lagi berakar pada masyarakatnya, pada asal dukungannya. Mereka hanya berpikir gampang saja. Subsidi adalah setan yang harus dijauhi karena melanggar hukum ekonomi pasar bebas. Subsidi adalah distorsi. Subsidi nyata-nyata telah membebani anggaran negara sehingga ekonomi nasional (elite?) tak bisa berlari. Maka, hapus atau kurangi subsidi.
Para pembuat kebijakan tak lagi berpikir tentang konteksnya, tentang kemampuan dan daya dukung masyarakat. Mereka percaya bahwa kompetisi yang fair adalah jalan menuju kekuatan dan kejayaan. Seperti kata Darwin, akan terjadi proses evolusi untuk menyesuaikan diri. Seperti kata Lamarc, hanya yang sesuai dengan kondisi yang akan bertahan. Itulah survival of the fittest. Sebuah pandangan yang linier dan naturalistik, namun inhuman dan menindas.
Kita sudah meninggalkan spirit agama. Kita tak lagi berlaku rahman dan rahim terhadap sesama. Tujuan telah menghalalkan cara dan proses. Kemajuan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang dituju secara sengaja dicapai melalui pengorbanan orang-orang miskin. Tak ada semangat untuk maju bersama, sejahtera bersama, dan menderita bersama. Kita tak mencontoh bangsa India dan bangsa Cina, yang secara demografik sangat dekat dengan Indonesia. Kini, mereka sedang menapak maju. Bahkan Lee Kuan Yew sebelumnya meramalkan India akan lebih kuat dari Cina karena negeri ini kukuh pada kekuatan sendiri, mengukuhi pandangan Mahatma Gandhi tentang swadesi. Sedangkan kita lebih suka berlaku aniaya terhadap orang-orang kecil. Padahal doa mereka sangat maqbul di depan Tuhan.
Apakah para pembuat kebijakan itu tak menyadari bahwa ketika minyak tanah langka maka para pedagang kecil tak bisa berjualan? Tanyakan pada pedagang gorengan atau pedagang nasi goreng. Padahal siapa yang mengakibatkan kita terjebak pada utang besar sehingga anggaran kita megap-megap? Para konglomerat itulah penyebabnya, yang utangnya diambil alih negara. Para pembuat kebijakan makin berlaku biadab dengan menjual aset konglomerat yang telah disehatkan itu dengan harga murah padahal di dalamnya ada utang yang dibebankan ke pemerintah. Tak hanya itu, sebagian aset itu juga dijual melalui kongkalikong sehingga pembelinya adalah kroninya atau pemilik asal melalui perusahaan joki. Di sana tentu ada korupsi dan kolusi.
Sudah selayaknya pemerintah dan anggota DPR yang terhormat berlaku adil. Jangan bebankan sakitnya ekonomi nasional ini ke orang-orang miskin saja. Bebankan secara adil kepada siapa pun yang menjadi penduduk negeri ini. Usut lagi secara tuntas segala transaksi di BPPN maupun kebijakan BLBI. Kembalikan lagi semua keringat dan darah rakyat Indonesia itu kepada yang berhak, rakyat. Kita butuh pemimpin yang berani, adil, dan nasionalistik. Karena, dari sanalah kita memulainya. Seperti Rusia menemukannya pada Putin, Malaysia pada Mahathir, Singapura pada Lee Kuan Yew, Cina pada Mao, dan Korea pada Park Chung Hee.
Lihatlah saat orang-orang miskin itu antre minyak, lalu datanglah ke rumahnya. Adakah anak-anaknya sedang menahan lapar karena menunggu ibunya yang sedang antre minyak? Na'udzubillah min dzalik. Cek pula berapa harga minyak tanah saat ini: Dua kali lipat dari harga yang ditetapkan pemerintah. Apa salah mereka pada bangsa ini, pada negeri ini, sehingga kita harus menyiksa mereka. Tanyakan hal itu ke Senayan dan Istana.
[Sumber: Republika]
Makin lama kondisi negeri ini makin kacau, kelangkaan gas juga masalah yang sudah sangat serius, oknum bermain disana sini, rakyat jelata yg kena imbasnya
Benar sekali @midiagam. Sepertinya, semua harus antre di sini, di negeri ini.
bikin tepuk jidat dah hehe
Negeri ini selalu dan selalu mengajari kita bagaimana sabar yang berkelas dan dituntut harus bisa berdamai dengan keadaan :(
Posted using Partiko Android
nah sekarang waktunya kita berpikir jernih lagi,. memang dulu ada kesalahan pemerintah yang mensubsidi banyak kebutuhan agar terlihat murah, sedangkan sekarang kita yang menerima hasilnya.
apa mau orang2 yang mewariskan hutang tersebut kita beri kesempatna untuk berkuasa lagi.
kita memang harus sudah melepaskan embel2 agama dalam pilihan bernegara agr kita bisa maju, tapi apakah semuanya bisa dan mau? masih sangat jauh sepertinya untuk bisa terwujud.
masih ada pula perilaku masyarakat kita sendiri yang kadag bikin geleng2 kepala.
ini salah satunya