Mengamati kegaduhan puisi Sukmawati, jadi kepingin mengulang kembali mata kuliah apresiasi puisi di PBS Unsyiah, 30 tahun lalu. Tentu, saya tak ingin membuat kesimpulan, apalagi membenarkan bila isi puisi yang dibacanya di pagelaran busana memperingati 29 tahun karir Anne Avantie, mengandung SARA, menghina. Karena itu urusan penafsiran subyektif dari setiap orang yang membacanya.
Satu hal, bila itu dianggap menghina agama (Islam), pastikan bahwa Islam itu agama paling mulia, dan tidak satu pun mampu merendahkannya. “Islam, Ya'luu Walaa Yu'laa 'Alaih” (Islam yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya). Dan jaminan dari Allah swt, pada ayat terakhir diturunkan kepada Sang Rasul Muhammad saww, yang artinya. “… Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” [Q.S, al-Mâidah/5:3]
Puisi Sukma yang dianggap “melampaui” itu, diketahui setelah beberapa bulan kemudian setelah bermula dari sebuah unggahan status dari pengguna akun Facebook bernama Anis Anisah sekitar dinihari tadi, Senin (2/2/2018). Dalam unggahan statusnya itu, Anisah yang setelah menelaah isi puisi Sukmawati itu, Sukmawati telah membandingkan kebaya dan konde dengan tuntunan syariat Islam. Sukmawati kemudian mengulang lagi frase Aku tak tahu syariat Islam sebelum kemudian melanjutkannya dengan yang kutahu kidung Ibu Indonesia sangatlah elok, lebih merdu dari alunan adzanmu..
Dua penggalan puisi Sukmawati itulah yang dipersoalkan oleh Anisah. Dia sangat tidak setuju bila pakaian nasional Indonesia dibandingkan dengan pilihan busana yang dikenakan kaum muslimah. Anisah juga menolak isi puisi Sukmawati yang membandingkan kidung Ibu Indonesia dengan suara adzan.
Saya tidak tahu, apakah Anisah seorang penyair, budayawaan, kritikus sastra, atau apa? Yang pasti statusnya itu menjadi viral di medsos. Para nitizen dengan berbagai keunggulannya mencoba menafsir, beragumen bahkan apologi sambil ramai-ramai menghujat. Di dekat rumah, ada pedagang gerobak nasi sambil menunggu pelanggan, bicara panjang lebar soal puisi itu. Dia tampaknya begitu geram sambil menyerapah.
Tentu, saya tak ingin masuk ke wilayah hujjah-hujjah, apalagi membuat keseimpulan dan menghukumi benar atau salah atas keadaan tersebut. Hanya saja risih ketika membiarkan mereka menafsir seperti itu. Sebab itu sama saja menyuruh menghitung konstruksi bangunan pada seorang tukang cendol.
Apakah ketika Anda membaca dan menganalisis puisi layaknya menafsirkan bahasa kuno yang hampir punah? Begitu ditulis dalam satu situs wikihow.com. Makanya Anda dapat belajar bagaimana menafsirkan sebuah puisi secara terarah dengan memikirkan apa maksud puisi tersebut, dan mengidentifikasi perangkat yang digunakan penyair untuk menjelaskan maknanya.
Untuk itu penting dilakukan, Pertama, baca sebuah puisi secara perlahan-lahan. Ingat "reaksi perasaan" atas puisi itu dalam setiap hubungan emosional yang Anda miliki terhadap ucapan penyair, hal-hal yang mengingatkan detil pribadi, yang disukai atau tidak dan lainya. Karena reaksi akan memutuskan pikiran dan respon atas yang diharapaknpenyair dari pembacanya.
Nah, berikut ini saya salin penggalan puisi Sukma yang secara subtansi paradoks satire,
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan adzan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Bila kita merujuk pada pendapat ahli itu, memang kesan pertama mengangapkan puisi itu telah mengandung perendahan atas agama, penulis mengabaikan bahwa ada dokrin kepercayaan atau tadisi yang masih melekat kuat pada pembacanya, dan sulit untuk ke luar dari dogma-dogma tersebut. Sekanjutnya, boleh jadi itu adalah kejujuran sipenulis puisi, karena terbatasnya pengetahuan keagamannya. Atau, mungkin bisa untuk menggambar suatu metafora keindahan tentang konde untuk mempersonfikasikan kemolekan ibu Indonesia, kemerdeuan kidung, yang hanya setara dengan frasa “cadar” dan “azan” untuk bisa melukiskannya. Karena semua itu, masih berupa asumsi-asumsi. Jadi, untuk bisa memahami konde, misalnya, mungkin perlu memanggil kembali kenangan Anda tentang busana nasional itu.
Langkah selanjutnya, kembali membaca puisi untuk menemukan makna konotatifnya. Rujuklah jiwa Anda, karena seringkali makna yang mempengaruhi emosi kita adalah konotatif, bukan denotatif.
Contoh kata "ibu", kamus mendefinisikan ibu sebagai “orang tua perempuan”. Namun kata "ibu" mungkin menimbulkan emosi dan perasaan di dalam diri Anda: ini melukiskan sebuah gambaran dalam pikiran Anda. Anda mungkin berpikir tentang cinta dan rasa aman atau mungkin berpikir tentang Ibu Anda sendiri.
Emosi dan perasaan diciptakan sebuah kata, seperti kata "cahaya" yang mungkin tidak mengacu kepada kondisi literal yang berarti kebalikan dari gelap; seringkali "cahaya" digunakan untuk melambangkan pengetahuan, kebenaran, kedamaian, sukacita, atau spiritualitas.
Puisi menggunakan bahasa padat, mendobrak dan penuh dengan makna. Kata-katanya benar-benar terpilih untuk mengekspresikan pemikiran dan mewakili rasa si penyair. Maka makna dalam puisi menyatakan sesuatu secara tak langsung, yaitu mengatakan sesuatu hal dengan arti yang lain atau makna dibalik susunan kata-kata dan tipografinya. Segala unsur sastra mengental dalam puisi.
Puisi adalah rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang diubah dalam wujud yang paling berkesan. Itulah keindahan dan keunikannya, maka memahaminya harus menikamti keseluruhan makna batin dan fisik puisi itu.
Mulyana (Semi, 1998: 91) memberikan batasan puisi dengan menggunakan pendekatan psikolinguistik. Karena karya seni ini tidak saja berhubungan dengan masalah bahasa, tetapi juga berhubungan dengan masalah jiwa. Bahwa puisi adalah sintesis dari berbagai puisi bahasa yang telah tersaring semurni mungkin dan berbagai proses jiwa yang mencari hakikat pengalamannya tersusun dalam sistem kerespondesi dalam salah satu bentuk.
Volerdge (dalam Prodopo, 1996: 6) menjelaskan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif (direkakan atau diragukan).
Memahami sebuah puisi, salah satu cara dengan membuat sebuah parafrase puisi, bagaimana memunculkan kembali bagian-bagian dari puisi tersebut yang sebenarnya sengaja atau tidak dihilangan oleh seorang penulis (Atmazaki, 1993: 127).
Biasa kebanyakan puisi hanya terdiri atas penggunaan sangat minim, bahkan cenderung menafikan aturan-aturan kebahasaan demi kepentingan rima, tipografi, dan kedalaman makna.
Itulah yang menjadi kerja para peneliti atau apresiator. Tugasnya menjelaskan struktur fisik atau sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi, seperti typografi, diksis, imaji, kata konkret, figurasi dll. Begitu juga bagaimana mengembalikan struktur batin sebuah puisi, seperti sense, feeling, etension/amanat..
Akhirnya, kita serahkan tugas ini kepada para ahlinya, para peneliti dan apresiator. Agar meciptakan sebuah pemahaman utuh terhadap makna puisi tersebut, agar menjelaskan pemahaman unsur batinnya. Misal, memahami feeling si penyair tentang berbagai hal yang terdapat dalam puisinya.
Puisi tidak lagi terikat pada makna literal. Ia selalu berkait dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalm pendidikan, agama, kelas sosial,, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan si penyair. Karena kedalama pengungkapan dan menyikapi suatu masalah bukan bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya
Sebagai orang awam, saya coba berdamai saja. Apalagi, teringat perkataan seorang dosen ketika ikut mata kuliah kesusastraan yang diasuhknya’ katanya dunia sastra di negeri kita masih dipasung dengan asumsi-asumsi, dengan dokrin-dokrin tradsisi, terikat teks-teks sumir. Belum berani keluar dan merdeka. Agaknya, inilah yang dilupakan Sukmawati, sehingga ia dianggap “melampaui” dalam puisinya.
Sebenarnya, ada banyak hamparan wajah ketuhanan di semesta yang tidak bisa diterjemahkan dengan kata-kata. Hanya bisa dipahami melalui proses takwil batin. Sekarang berhenti dan bertanya pada diri sendiri, tapi "Apa yang penulis coba katakan?" Apa tujuan puisi ini? Apa reaksi yang coba ia raih dari pembaca? Mengapa?" Cobalah untuk mengidentifikasi "tujuan penulisan" penyair. Hanya dia lah yang mahfum!!
Helo @ampuhdevayan, apa kabar? Kami sudah upvote..
kabar baik, hehe
Congratulations @ampuhdevayan! You received a personal award!
Click here to view your Board
Congratulations @ampuhdevayan! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!