Ingatan yang Tersisa Tentang Bapak Genetika

in #steempress4 years ago

Setiap orang terlahir dengan keunikan dan kelebihan dari Allah. Bisa dipastikan semua memiliki apa yang disebut "syakilah" itu. Memang tidak semua akhirnya bisa mengasah kelebihan tersebut menjadi hal yang paling atas atau penopang hidupnya di masa depan.

Kali ini aku tidak sedang membahas fitrah dan keunikan yang tak terdeteksi atau hilang seiring waktu karena terabaikan oleh beberapa hal. Lagi-lagi jelang tengah malam ketika diserang kantuk, aku yang sering mengacaukan ritme sirkadianku sendiri, sedang merenung kembali. Tentang sesuatu yang kusukai tentunya. Nah, namanya juga ini blog pribadiku, mau kutulusi curhat pun siapa yang bisa protes, coba? Hahaha.

Saat naskah yang harus kusunting membuatku mengantuk, penawar yang mumpuni biasanya media sosial. Saat itulah aku mulai melihat-lihat notifikasi, sudah menumpuk dan kalau saja aku memperturutkan untuk membalas satu per satu, aku pun akan jadi budak sosmed, jadi maafkan ya, bukan tak menanggapi, tapi memang otak disleksikku punya keterbatasan dan aku harus tahu diri. Nanti pun saat bertemu langsung, kita bisa mengobrol banyak dan aku bisa menjamin, tak ada kesombongan sekecil biji sawi pun yang ingin kusemai bersebab percakapan dan komentar di sosmed tak bisa kubalas.

Berselancar di sosmed sering membuatku mentok di pranala-pranala menarik, itu asyiknya di pasar serba ada (baca sosmed). Malam ini aku membaca artikel mengenai penemu yang saat ini diabaikan, Gregor Mendel. Kalau lupa, akan kuingatkan dengan Teori Genetika. Semoga kalian ingat sebagai generasi yang bersekolah formal dengan seabrek tuntutan akademik. Untuk belajar sains, Mendel selalu masuk dalam kurikulum-kurikulum wajib. Tidak seperti Nikola Tesla atau Bill Gates mungkin ya.

Bagiku Mendel mengesankan, aku suka membahasnya karena saat belajar genetika di bangku setingkat sekolah menengah pertama, aku merasa tertarik. Merunut genotipe a, b, c, dan d, lalu mencari yang dominan atau resesif, mengaitkannya dengan keseharian atau bahkan lelucon-lelucon satire yang tak ada kaitannya dengan sains. Misal, nanti cari pasangan yang gennya resesif untuk bentuk hidung, karena hidung milikku sudah cukup keren, aku hanya perlu mengimbangi bentuk lainnya supaya bisa memperbaiki keturunan. Hahaha…macam-macamlah.

Aku tertarik dengan sains. Jujur saja. Kata orang-orang di sekelilingku, keluarga kami dekat dengan seni, rerata berbakat ke arah beragam seni. Oh iya, teori otak kanan dan otak kiri tentang seni dan sains, kabarnya sudah tak lagi dipakai. Aku paling jarang membaca jurnal ilmiah, jadi belum bisa memaparkan teori terkini, jadi kalau penasaran bisa mencari sendiri saja.

Kita balik lagi ke Mendel. Dulu, ketika menggambar karakter manga--hobi sampingan di sekolah, menggambar manga dan kadang-kadang membuat komik ecek-ecek--sering aku membuat karakter seorang gadis memangku buku teks genetika yang ditulis Mendel. Untuk apa, ya? Entahlah.

Micheal H. Hart menulis dalam bukunya yang berjudul 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia dengan urutan ke-59 untuk Gregor Mendel. Oh, sebentar, aku membaca buku ini saat SD atau Tsanawiyah, kudengar buku ini dicetak kembali, rasanya ingin membaca edisi cetak ulang dengan tampilan kover menarik tentunya. Karena dulu kover buku ini seingatku hanya dua warna, dengan paduan yang jelek dan font sama sekali tidak menarik. Artikel singkat tersebut banyak mengutip biografi singkat yang ditulis Micheal Hart. Bagaimana kegigihan Mendel walau karya dan penelitiannya baru dirasakan signifikan setelah bertahun-tahun ia wafat.

Demikian ingatan yang tersisa tentang Mendel malam ini. Setiap kali aku mampu mengingatnya, tiap kali pula aku merasa haru, apalagi sains bukan lagi hal yang menarik bagiku sebagaimana dulu. Hanya mengurangi sehasta atau berdepa rindu.



Posted from my blog with SteemPress : https://stanzafilantropi.com/ingatan-yang-tersisa-tentang-bapak-genetika/