Pertemuan itu bukan kebetulan, Sayang. Tuhan telah membuat skenario-Nya dengan sempurna. Sederhana, biasa, tanpa warna. Karenanya aku masih mengulang kisah kita untuk aku ceritakan betapa indahnya perjumpaan. Walau berujung kepergian.
Kamu tahu capeknya mencari di tempat sepi? Pernah membayangkan jika sepi saja tidak menemukan bagaimana kalau di keramaian? Jawabnya; menyedihkan.
“Kamu mau antar tempe ini ke rumah mertuaku, Dek?” Mbak tidak yakin aku bersedia jadi pekerjanya untuk hari ini. Tanpa jawaban aku sudah memanasi motor dan kembali ke kamar untuk mengecek penampilanku lagi. Percobaan ke sepuluh, batinku.
“Cuma ini kan? Adalagi tidak?”
“Nggak ada. Hati-hati dan cepet pulang! Jangan kira aku ndak tahu maksudmu loh ya.” Mbak meledekku untuk kesekian kalinya. Tanpa menunggu lama aku langsung berangkat. Penuh harap bisa bertemu dengannya.
Namun sayang meski motor sudah aku pelankan tapi tetap hidungnya tak kehilatan. Merasakan rindu sebelum kepastian cinta itu menyiksa.
Begini, Teman! Aku mengenalnya ketika laptopku rusak, kakak ipar menawarkan untuk membawa ke tempat temannya. Dan itulah awal dimana tatapan pertama membawa rasa di setiap waktuku. Hanya berawal dengan ucapan dalam hati,’lelaki ini berjenggot sesuai sunnah pasti dia baik’ lalu dihantuilah aku tentang dirinya. Tanpa tahu siapa nama lengkapnya. Hanya bermodalkan panggilan ‘Wan’ aku mencari di facebook dengan nama yang memungkinkan dan hasilnya nihil.
“Lelaki itu jika punya rasa pasti dia ngasih sinyal, Dek. Bukan diam begini. Dia kan tahu nomor Masmu, usaha kek.” Mbak tahu kegalauan apa yang bertamu di hati adiknya. Aku jarang peduli dengan lelaki maupun cinta, bagiku kerja, kerja, bayar hutang. Tapi yang ini beda. Sampai tiba saat aku mengesampingkan rasa malu. Minta nomor whatsapp dia ke kakak ipar. Alasan buat menanyakan laptop dan membantuku membuka sandi lama akun FB.
Done!
Hanya saja semua formal semata. Tapi setidaknya aku bisa memandang foto profilnya. Hai, Teman, mungkin ini memalukan tapi sungguh ini fakta. Foto itu aku jadikan teman tidur dengan doa semoga Allah menjodohkan.
‘Will you marry me?’ Satu pesan whatsapp masuk.
“Mbak dia ngajak nikah. Gimana?”
“Ya terima saja.”
“Tapi aku sukanya mas tukang solder, bukan ini.” Mbak hanya menggeleng kepala. Dia tahu ada satu lelaki yang akhir-akhir ini mendekatiku setelah sebulan tiada kabar dari mas Wan. Bertemu diacara pengajian dan dengan cepatnya mengajak nikah. Dilema.
“Dek, tukang soldermu mungkin sudah punya calon, dia loh jauh di atasmu, siapa tahu sudah ada. Sudah jangan terlalu berharap. Terima saja yang jelas-jelas ada rasa denganmu.
Fix. Entah ini pelarian atau bukan aku mencoba menerima ajakan nikah itu. Walau ada keraguan tapi aku bersedia belajar menerima dan menjalani, ia pun setuju.
Kenapa aku begitu mudah berpaling? Mudah move on! Tidak menunggu dulu dna lainnya.
Begini! Aku sudah bukan remaja lagi, sesuai janjiku pada ayah setelah kontrak terakhir setelah cuti ini aku akan menikah. Nah, mengapa dengan cepat menerima ajakan menikah laki-laki ini. Karena aku tidak mau membuang waktu. Bagiku lelaki yang mengajak menikah itu punya tujuan serius daripada pria yang mengatakan cinta tapi mengajak pacaran dulu. Oh, tidak!
Bukankah tiada hubungan dan cinta yang serius kecuali pernikahan. Jadi jangan buang waktu dengan status pacaran. Siap nikah. Belum siap berbenah. Laki-laki yang serius dengan kita dia akan menjaga harga diri kita dan wanita yang mempunyai harga diri dia akan menjaga dirinya dari kesia-siaan. Ini nasehat dari almarhumah ibuku, Teman.
Terasa cepat aku merasa ada seseorang yang memperhatikan. Dan waktu keberangkatanku kerja ke luar negeri hanya seminggu setelah persetujuan itu. Hubungan jarak jauh, tak pernah terpikirkan, pengalaman pertama dalam hidup. Aku dan dia tidak terikat dengan kata 'kamu pacarku dan aku pacarmu' tapi sebuah komitmen. Tapi entah hatiku masih terasa hampa.
‘Ketika lidah tak sejalan dengan hati. Cinta itu sekilas hanya mainan. Sayang yang terluah sekadar basa basi. Bukan tawa setelah mendengar suaranya, melainkan pilu. Maaf aku tak mencinta! Semua yang terucap hanya kata tanpa makna! Dan aku benci diriku sendiri!
Dia datang, batinku. Setelah aku melatih diri menerima lelaki lain mas Wan dengan tanpa dosa mengomentari status whatsappku. Mencoba membuka percakapan yang membisu selama satu bulan lebih. Dengan santai tanpa rayuan dia berterus terang ingin menjadikanku istrinya. Hallo!!!
Cinta itu membingungkan. Tahu begini tak kan kucoba membuka hati untuk yang lain. Tapi beginilah drama kehidupan. Seolah memberi jalan aku dan mas Wan saling berbalas kata. Perasaan bersalah pada dia yang di rumah semakin menggebu. Jujur, tiada cinta aku ke dia. Karena hati ini sudah terpaut dengan mas Wan. Dan sekarang ia membuka lebar ruang asa itu, aku ingin memasukinya.
Cinta itu memilih. Walau berpura-pura kau akan tetap menuju yang kau mau, tanpa tanya. Jika cinta harus satu, biarkan yang lain menjauh. Bukan inginmu harus menjadikan yang lain pemberhentian sementara, sebab memang selucu inilah kisah percintaan.
“Berarti tanggal 10 bulan oktober kita berkomitmen?” Aku hanya memastikan padanya bahwa kini hanya aku dan dia.
“Ya, Dek. Aku serius! Jika ada yang bertanya apa kau punya pacar jawab tak punya. Tapi punya calon suami. Pahamkan?” Nada suaranya meski hanya lewat telepon tapi mantap dan tegas.
Jangan tanya bagaimana girangnya aku mendengar kepastian itu. Wanita itu bukan hanya butuh cinta, janji, hadiah dan impian. Tapi kepastian!
“Secepatnya aku akan datang ke walimu.” Aku mengangguk berkali-kali walau tahu dia tak kan melihatnya. Bahagia? Tentu. Walau semua masih terlalu awal. Tapi setelah percakapanku dan mas Wan tangan gatal untuk langsung telepon ke mbak. Mau pamer bukti.
“Mbak, di rumah aku bela-belain sepedahan tiap hari dekat rumahnya agar bisa lihat doi, tapi nganggur. Eh setelah di sini bahkan hampir bersama orang dia baru mengakui suka aku sejak pertama ketemu. Tuh kan Mbak, cinta itu unik. Nggak lama Allah kabulkan.”
Tanpa memberi jeda aku langsung ungkapkan semua.
“Sudah puas?”
“Belum.”
“Kok bisa, kan sudah sama abang solder?”
“Karena kita harus berjuang menahan rindu selama dua tahun ke depan, Mbak. Kan sakit tuh, kangen-kangenannya ya susah, apalagi belum sah. Atit tau.” Mbak bukan menghibur malah menertawakanku, tanpa kata lagi sambungan aku matikan. Yang aku tahu rasa itu telah Allah pertemukan.
Aku dan dia berjuang merawat rasa. Memenjarakan sementara segala asa yang menggila di sanubari. Sebisa mungkin saling menjaga agar cinta hakiki aman, sebelum janji suci terlafazkan.
‘Dek, aku mencintaimu karena Allah. Bukan permainan asmara yang aku tawarkan maupun janji indah nan semu. Dek, maaf jika setelah kamu jauh aku baru sadar bahwa aku menginginkanmu menjadi istri dan makmumku. Maaf jika dengan segala kesederhanaan aku lancang datang ke ayahmu. Sungguh, aku ingin kita bisa bersama dimana tiada sekat yang mengharamkan, dan setiap sentuhan, tatapan, ucapan berbuah pahala.
Aku bukan pujangga, Dek. Tapi aku pria yang ingin jadi jembatan jannahmu.
Fiawan’
Pesan whatsappnya aku baca berulang.
‘Semoga Allah meridhoi, Mas.’ balasku.
Selesai.
Salam aksara senja dari Formosa
Posted from my blog with SteemPress : http://ucizahra.epizy.com/2018/10/20/memenjarakan-rindu/