Call Me Batavia #1 : Eh, Namaku? | My Original Story

in #writing6 years ago

You can call me Batavia. I was a boy who lived in Indonesia. This was my story.


Source: Pixabay, modified

Ada rasa penasaran sekaligus takut setiap kali kita berubah. Baik itu saat berulang tahun, mendapat teman baru, maupun memasuki lingkungan baru. Degup yang bertambah kencang saat kita semakin dekat dengan perubahan itu sampai tak tahu apa itu detak jantung atau ketukan kaki yang ragu-ragu. Aku pernah merasakan itu semua, sekaligus. Waktu itu aku baru masuk SMA.

Aku selalu berulang tahun sebelum masuk tahun ajaran baru. Tapi, yang ini berbeda. Aku tak perhatian pada awalnya, tapi saat aku meniup lilin di atas kue ada yang serasa jatuh. Kusangka itu tanda bahwa aku bukan lagi anak SMP, tetapi memasuki fase baru: masa SMA. Masa yang kata orang menandai transisi dari masa "bocah ingusan" ke masa dewasa. Masa yang paling diingat siapa pun karena di sinilah masa mereka bersenang-senang sekaligus merancang masa yang akan datang.


Source: Pixabay

Sewaktu tahu aku diterima di salah satu sekolah bergengsi di kotaku, aku senang tapi juga bingung. Senang karena aku akan memakai seragam putih-abu-abu. Bingung karena hal-hal baru yang pasti akan kuhadapi. Kepastian itu ada, tapi aku tidak tahu hal baru apa yang akan terjadi. Ketika aku sibuk memikirkan harus bersikap bagaimana, tahu-tahu saja aku sudah berdiri menghadiri upacara penerimaan murid baru.

Kata-kata yang diucapkan kepala sekolah selaku pembina upacara sebagian ucapan biasa — kalau tidak mau dibilang klise. Satu-satunya hal yang kuperhatikan hanyalah dia menggunakan frasa "anak-anakku" untuk merujuk kami, para muridnya. Meski di kemudian hari semua guru memakai frasa yang sama, hal itu terngiang di telingaku sampai kelulusan.

Sebelum kelas kami ditentukan, kami dimasukkan dalam gugus-gugus. Untungnya, ada teman SMP di gugusku. Mungkin bagi sebagian orang, hal ini tidak penting. Tapi, bagiku, itu penting untuk mengurangi rasa gugup yang menggumpal di dasar perutku. Namun, rasa gugupku mungkin sudah meleber ke mana-mana sampai melupakan namaku sendiri.


Source: Pixabay

“Ya, sekarang kamu,” kata kakak kelas pengawas gugus kami sambil menunjukku. Aku maju ke depan kelas dan menghadap tigapuluhan orang. Setelah mengucapkan salam, kami diminta mengucapkan nama dan asal sekolah. Namun, yang keluar dari mulutku hanya, “Nama saya….”

Sesaat, aku kehilangan namaku dari daftar memori inti. Ada jeda sebelum aku menyebutkan nama dan asal sekolahku. Kakak kelas yang sadar meminta aku mengulang perkenalan diriku. Setelah pulang, aku akan menulis daftar prioritas baru. Yang pertama, mengingat namaku sendiri.

@batavia


If you like my writing, please upvote and restem this post. I would love if you follow @batavia.


Other Stories

Sort:  

Congratulations @batavia! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of upvotes

Click on the badge to view your Board of Honor.
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

Do not miss the last post from @steemitboard!


Participate in the SteemitBoard World Cup Contest!
Collect World Cup badges and win free SBD
Support the Gold Sponsors of the contest: @good-karma and @lukestokes


Do you like SteemitBoard's project? Then Vote for its witness and get one more award!